Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kedua (1967-1998), menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum di muka pers dalam setiap acara resmi kenegaraan.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa
pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal.
Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru,
Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan
infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia
keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar.
Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk.
Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
Awal hidup dan pendidikan
Pada 8 Juni 1921, Sukirah melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang juga
adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh ayahnya, Kertoredjo alias
Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki itu diberi nama
Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah yang
dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro yang
menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua anak.
Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya
bercerai tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan
Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Belum genap 40 hari, bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena
ibunya sakit dan tidak bisa menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari
Soeharto kecil untuk berdiri dan berjalan. Soeharto juga sering diajak
ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong Soeharto kecil di punggung
ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak pernah dilupakan
Soeharto. Terlebih ketika kakeknya memberi komando pada kerbau saat
membajak sawah. Karena dari situlah, Soeharto belajar menjadi pemimpin.
Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah
Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan
tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar
(SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta)
lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke Kemusuk Kidul.
Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa
Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang
mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra
paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo.
Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama
berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari
keluarga bibinya.
Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di
bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan
menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di
sanggar bersama teman-temannya. Belajar mengaji bahkan dilakukan sampai
semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai
mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran
Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah
(SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah
lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal
di rumah Hardjowijono. Pak Hardjowijono adalah teman ayahnya yang
pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia
Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.
Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat
resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke
kampung asalnya, Kemusuk untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di
sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki
(sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang
lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu
membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari
pekerjaan ke sana ke mari, namun gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di
Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah
Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.
Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan
anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara
kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara.
Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan,
karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang
ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
Karier militer
Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah.
Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sekolah militer
sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi
prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong serta resmi menjadi
anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung
untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama
seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi
komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang Kemerdekaan
berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan
pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi
penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk
sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat)
Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks
KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman
bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum
di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan
bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan
diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan
kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956,
ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV
Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat
Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957,
pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga sempat mewarnai lembaran kemiliterannya. Ia dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat.
Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan
Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir
jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961,
jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum
AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan
jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada
tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer
Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962)
dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan
merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar.
Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat
menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962,
Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri
Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat sebagai Panglima Komando
Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965,
Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini
memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap
orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.
Naik Ke Kekuasaan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. Nasution
yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf
Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak
menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto,
meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak
dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S
itu. Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu
menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang
didukung oleh CIA
yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan
pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal
sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru,
terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri /
Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini
sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa
bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad
yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat
Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar)
dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada
Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden
Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat
G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat
internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan
Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru
dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran
pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis
(PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di
Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu
"tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap
minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA
dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian
mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis"
Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer
Indonesia. Been Huang,
bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa:
"Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka
mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak
darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda
harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli
Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki
Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan
kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima
Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar mengambil tindakan yang dianggap
perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya
pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1966,
Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai
terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI,
Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima
kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967.
Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima
penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang
Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru.
Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet
Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968,
Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas
Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli,
Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs
Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Pada 3 Juli 1971,
presiden mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan
memberikan 9 kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar.
Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih
kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973)
pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari dinas militer
(Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik turut
melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang penguasa. Setelah mencapai
posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai menampakkan
taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978,
Soeharto dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan
Adam Malik sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983
memutuskan memilih kembali Soeharto sebagai presiden dan Umar
Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui Tap MPR No V tahun 1983,
MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia.
Pada 16 Maret 1983,
Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang
terdiri atas 21 menteri, tiga menteri koordinator, delapan menteri muda,
dan tiga pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.
Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan
dua badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan
massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat
dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat
dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim
Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat
administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968
dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang
pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an.
Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari tim ekonom hasil didikan
Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley".
Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan
inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta
mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan
mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo
sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi
dengan melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan
ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak
teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden
Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang
umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley
di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya,
Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara
donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992,
IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur
dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili.
Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect
(menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan
ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi
perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia
akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984.
Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun
berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat
signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang
mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Cina, dan Korea Selatan.
Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia
sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan
sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan
dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU
Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat
itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan
politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR
dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap
penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat
diredam oleh sistem pada masa itu.
Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya
karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan
atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi,
sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut
perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa
kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain
memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis
di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena
tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto
terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi.
Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui
hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian
menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli
kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus
memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai
dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin
memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur
Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tidakan Fretilin yang
menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet. Kemudian pemerintahan
pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut
berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Soeharto dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen pada tahun 1998.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50
menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari
anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia
menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB
membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap
pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur.
Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung
Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan
keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Kasus Korupsi
Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden,
berbagai elemen masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan
pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia
itu. Pada 1 September
1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang
yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi
Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.
Jaksa Agung AM Ghalib dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di
Jalan Cendana (Jakarta) untuk mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November
1998, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar
menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan
tindak awal pengusutan harta dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal
dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember
1998, Presiden BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera
mengambil tindakan hukum memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember
1998, Soeharto diperiksa tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi
Jakarta sehubungan dengan dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan
Soeharto di luar negeri, dan kasus Tapos. Majalah Time melansir berita
tentang kekayaan Soeharto di luar negeri yang mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei
1999, Soeharto menyerahkan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM
Ghalib untuk menelisik kekayaannya di Swiss dan Austria, seperti
diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni
1999, Soeharto mengadukan Majalah Time ke Markas Besar Kepolisian
Republik Indonesia atas tuduhan memfitnah pada pemberitaannya. Soeharto
menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar dollar AS.
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan
Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial
(Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal
Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan
Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90
Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2
persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas
setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi
fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan
dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International,
Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan
pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar
A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan
yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang
tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Di tengah upaya membela diri berkaitan dengan kasus penyalahgunaan
kekuasaan, Soeharto terkena serangan stroke ringan dan dirawat selama
sepuluh hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta pada 20 Juni
1999. Pada 14 Agustus 1999, Soeharto dirawat untuk kedua kalinya di
RSPP selama lima hari, karena pendarahan pasa usus. Pada 7 Mei 2006,
Soeharto kembali masuk RSPP dan menjalani operasi pembedahan untuk
menghentikan pendarahan pada saluran cerna oleh tim dokter terpadu.
Soeharto kembali dirawat di RSPP karena kadar hemoglobin rendah, tekanan
darah turun, dan ada penimbunan cairan sehingga tubuhnya membengkak.
Setelah dirawat 245 hari sejak 4 Januari 2008, Soeharto meninggal dunia
pada 27 Januari 2008 akibat kegagalan multi-organ.
Minggu, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB, 27 Januari 2008[6] di hari ke-24 dirawat di RSPP (Jakarta),
mantan Presiden Soeharto dipanggil Sang Khalik. Kepastian kabar
wafatnya Soeharto bukan disampaikan oleh keluarga, pengacara, dokter,
atau pejabat negara. Kabar itu disampaikan langsung dan pertama kali
kepada wartawan oleh Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Baru Komisaris
Dicky Sondani di depan lobi utama RSPP sepuluh menit setelah Soeharto wafat.
Keterangan resmi Soeharto meninggal baru disampaikan Siti Hardiyanti Hastuti Indra Rukmana (Tutut) bersama dua adiknya dan Tim Dokter Kepresidenan pada pukul 13.45 WIB pada hari Minggu tanggal 27 Januari 2008.
Suasana di RSPP pada akhir pekan itu sepi. Wartawan yang meliput berita
tentang mantan orang nomor satu di Indonesia itu pun tidak banyak.
Sejak dinyatakan Soeharto dalam keadaan kritis, wartawan mulai
berdatangan. Di sekitar lobi utama RSPP suasana berubah tegang ketika
lima tentara lewat di antara tempat parkir mobil. Semua kameramen
televisi langsung bergerak ke depan rumah sakit.
Komisaris Dicky Sondani yang datang ke RSPP sekitar pukul 12.30 WIB
terlihat mondar-mandir. Sebentar masuk ke dalam rumah sakit, kemudian
keluar lagi. Awalnya, puluhan wartawan yang berjaga tidak menghiraukan
kehadiran Kapolres Kebayoran Baru, Jakarta tersebut. Para wartawan
menganggap bahwa Dicky sedang berjaga-jaga untuk menanti kehadiran
pejabat negara. Rasa penasaran wartawan memuncak saat polisi dan tentara
semakin banyak yang datang dan Dicky masih mondar-mandir. Ketika Dicky
keluar lobi utama, dia berdiri pas di depan pintu, wartawan sepakat
bertanya ada apa dengan pengamanan yang ketat itu. Dicky berada di
tengah kerumunan wartawan dan kamera televisi mengarah ke wajahnya.
Tepat pukul 13.20 WIB, Dicky mengatakan, ”Telah berpulang ke
Rahmatullah, Haji Muhammad Soeharto pukul 13.10 WIB. Rencanya akan
dibawa ke Cendana, tetapi belum tahu pukul berapa.” Berulang kali Dicky
harus mengulang kalimat itu karena banyak kameramen dan reporter radio
yang belum merekam suaranya. Bahkan, ada yang meminta Dicky bersuara
hanya untuk mengatakan jam berapa Soeharto meninggal. Semua orang
membutuhkan suara Dicky yang menjadi pemberi informasi pertama untuk
publik.
Warga yang ingin berbelasungkawa diizinkan memasuki kediaman keluarga
Soeharto pada malamnya. Warga boleh masuk secara berombongan, sekitar
20 orang untuk setiap rombongan. Warga pun memanfaatkan kesempatan itu.
Soeharto meninggalkan wasiat kepada keluarga agar dimakamkan di sisi
almarhumah Ny Tien Soeharto di Kompleks Astana Giribangun, Solo, Jawa
Tengah, sebelum dzuhur, sekitar pukul 12.00 WIB. Jenasah Soeharto
diserahkan oleh pihak keluarga yang diwakili Tutut kepada pemerintah
pada Senin, 28 Januari 2008 pagi untuk selanjutnya diberangkatkan ke
Solo, Jawa Tengah.
Nun di ketinggian 666 meter di atas permukaan laut, Soeharto
mendirikan istana terakhirnya. Istana itu bernama Astana Giribangun.
Inilah sebuah kompleks makam termuda leluhur dinasti Mataram Imogiri,
Yogyakarta. Astana Giribangun terletak di lereng barat Gunung Lawu,
persisnya di Kelurahan Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Kira-kiranya jaraknya 40 kilometer dari Kota
Solo. Giribangun berdampingan dengan Gunung Mangadeg yang memiliki
ketinggian 750 meter di atas permukaan laut.
Mengutip buku Panduan Berziarah Astana Giribangun koleksi
Perpustakaan Rekso Pustoko Puro Mangkunegaran (Solo), usia Astana
Giribangun sebagai salah satu makam leluhur keluarga besar Mangkunegaran
adalah kompleks makam termuda dibandingkan kompleks makam lain.
Urutannya adalah Makam Mangkunegaran Kartasura di Imogiri Bantul
(Yogyakarta), Astana Mangadeg Astana Girilayu, Astana Oetara, Astana
Giri, Astana Kablokan, Pesarean Mantenan, Pesarean Karangtengah,
Pesarean Randusongo, Pesarean Temuireng, Pesarean Ngendo Kerten, dan
Astana Giribangun.
Di belakang atau di sebelah setalan bukit Giribangun mengalir Kali
Samin. Di depan pintu kompleks Makam Giribangun yang selalu tertutup
terdapat dua pohon jambu mawar yang masing-masing berada di kanan-kiri
pintu. Ini memang sebuah tempat yang teduh dan nyaman. Fasilitas
kompleks makam juga lengkap, seperti pelereman atau bangunan khusus
untuk menginap keluarga Soeharto dan masjid. Pengurus dan pegawai Astana
Giribangun juga secara berdedikasi memeliharanya. Kayu jati masih
tampak mengkilap, sesekali dipelitur. Makam rajin dipoles, bunga
peziarah selalu dibersihkan setiap pagi, dan karpet pun dicuci setiap
minggu. Semua siap di makam yang dibangun oleh 700 pekerja tanpa
penggunakan traktor dan alat berat lainnya itu. Makam yang terletak
sekitar 35 kilometer dari Solo itu dapat ditempuh dalam waktu sekitar
satu jam karena jalan menuju kompleks makam dari Matesih sangat lancar.
Astana Giribangun dibangun oleh Yayasan Mangadeg, sebuah yayasan yang
bertujuan membangun dan memperbaiki makam-makam leluhur seperti makam
Pangeran Sambernyawa. Soeharto dan Hartinah (Tien Soeharto) masuk
sebagai pendiri yayasan yang berdiri pada 28 Oktober 1969 tersebut.
Makam yang dibangun di atas bukit Giribangun diresmikan pada Jumat
Wage, 23 Juli 1976. Acara tersebut ditandai dengan dipindahkannya
kerangka jenazah ayah dan ibu Hartinah, KRMTH Soemoharjomo dan KRA
Soeharjomo. Karena kompleks makam Astana Mangadeg semakin penuh, pada 27
November 1974, pembangunan Astana Giribangun dimulai. Waktu itu, Gunung
Bangun dipotong sekitar 22 meter agar ketinggiannya tidak melebihi
Astana Mangadeg. Upacara peresmiannya dilakukan pada 23 Juli 1976.
Bangunan utama makam terdiri atas bagian yang ditandai dengan
trap-trap. Bagian pelataran bawah disebut Cungkup Argotuwuh. Siapa pun
yang masuk ke area ini harus melepaskan alas kaki. Anggota keluarga
Yayasan Mangadeg dapat dimakamkan di area seluas 700 meter persegi ini.
Trap selanjutnya adalah Argokembang dengan luas 600 meter persegi. Yang
paling puncak adalah Argosari seluar 300 meter persegi.
Di Argosari inilah terletak makam utama keluarga Soeharto, yaitu di
ruangan 80 meter persegi dikelilingi gebyok ukiran. Terletak di tingkat
teratas dari makam dengan kapasitas 65 badan. Terdiri dari Cungkup
Argosari dalam dinding gebyok lima badan, emper Cungkup Argosasi 12
badan, dan selasar Cungkup Argosari 45 badan. Karpet empuk cokelat muda
terhampar di rungan ini. Seluruh bangunan didominasi kayu jati; dari
kayu untuk atap hingga tiang penyangga.
Pada bangunan utama terdapat empat makam yang sudah lama terisi dan
satu petak yang sengaja dikosongkan. Berurutan dari ujung timur terdapat
makam kakak tertua Hartinah, Siti Hartini Oudang, kemudian ayah dan ibu
Harinah. Di ujung paling barat ada makam Hartinah. Di antara makam
itulah, makam Soeharto berada.
Emper Cungkup Argosari direncanakan dipergunakan bagi putra-putri dan
menantu, yakni enam pasang badan atau 12 badan. Selasar Cungkup
Argosari dicadangkan untuk pengurus Yayasan Mangadeg, yaitu penasihat 10
badan, pengurus harian 14 badan, anggota pengurus/komisaris 14 badan,
direksi, dan komisaris 10 badan.
Untuk makam tingkat kedua, yakni Argokembang diperuntukkan bagi para
anggota pengurus pleno dan seksi Yayasan Mangadeg dan bukan anggota
Yayasan Mangadeg yang oleh pengurus yayasan dianggap banyak memberikan
jasa-jasa kepada yayasan. Argokembang berkapasitas 58 pasang atau 116
badan. Tingkat terakhir adalah Argotuwuh. Tingkat ini diperuntukkan bagi
para pengurus pleno dan anggota seksi yayasan. Di samping itu, untuk
keluarga besar Yayasan Mangadeg, bukan anggota pengurus yayasan yang
dianggap banyak memberikan jasa-jasa kepada yayasan. Akomodasi ini
berkapasitas 78 pasang atau 156 calon badan.
Kematian Soeharto
Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden Soeharto
diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta.
Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan
keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek
mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan
Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat
menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto.
Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto
memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan,
menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di
Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan
belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji
Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Refrensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto