BANYAK orang mengenalnya sebagai tokoh
Partai Komunis Indonesia dalam pemberontakan 1926 dan 1948. Yang
pertama aksi PKI menentang pemerintah kolonial Belanda. Yang terakhir
gerakan PKI di Madiun, Jawa Timur, melawan pemerintah pusat.
Dialah Musso, anak Kediri yang ketika
kecil dikenal rajin mengaji. Mendapat pendidikan politik ketika
indekos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, di masa-masa awal kemerdekaan
sepak terjangnya tak bisa diremehkan. Peran politik Musso bisa
disejajarkan dengan peran Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.
Dia belajar politik di Moskow, Rusia,
dan mengamati dari dekat strategi gerakan komunis Eropa. Ia bermimpi
tentang negeri yang adil, setara, dan merdeka seratus persen. Ia
memilih jalan radikal, bersimpang jalan dengan kalangan nonkomunis,
bahkan juga kalangan kiri yang tak segaris. Tapi radikalisme itu tak
membuatnya bertahan. Ia lumat dalam gerakan yang masih berupa benih.
Akhir Oktober, 62 tahun lampau, Musso tersungkur.
Radikal Kiri Si Bocah Alim
MUSSO berasal dari keluarga berada buat
ukuran zamannya. Lahir dengan nama Munawar Muso pada 1897, ia tumbuh
di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Musso
bersama Sidik, adiknya, hidup berkecukupan. Ayahnya, Mas Martoredjo,
pegawai kantoran pada bank di Kecamatan Wates, tak jauh dari rumah.
Ibunya bekerja di rumah, mengelola kebun kelapa dan kebun mangga.
Di desa terpencil itu, Musso tumbuh
bersama dua teman karib: Ronodihardjo dan seorang lagi yang belakangan
dikenal sebagai Kiai Kemendung. Mereka bocah alim yang rajin ke
Musala Ar-Rahman milik Ki Demang Telo, ayah Ronodihardjo. Ki Demang
Telo ketat menjaga ibadah mereka. Ia tinggal hanya 50 meter dari rumah
orang tua Musso. “Ke mana-mana selalu bersama,” kata Agus Pitono, 47
tahun, cucu Ronodihardjo, yang memperoleh cerita dari kakeknya.
Menurut Agus, Musso dan Ronodihardjo
mengendarai sepeda motor kebo-merek Ural buatan Soviet. Masuk akal,
karena orang tua mereka cukup kaya. Orang tua Ronodihardjo memiliki
sepertiga tanah di Desa Jagung. Adapun keluarga Musso menguasai banyak
tanah, termasuk di beberapa desa lain. Luas tanah di sekeliling rumah
orang tua Musso saja tiga hektare. Di sana berdiri satu bangunan
rumah dan ratusan pohon kelapa.
Agus mengatakan ibu dan neneknya
menggambarkan Musso sebagai orang yang pintar berorganisasi.
Perkawanan Musso, Ronodihardjo, dan Kiai Kemendung putus ketika Musso
melanjutkan sekolah ke kota pada usia 16 tahun. Ronodihardjo mewarisi
jabatan ayahnya, demang. Sedangkan Kiai Kemendung mendirikan pondok
pesantren di Dusun Kemendung, Desa Jagung. Itulah sebabnya masyarakat
menyebut dia Kiai Kemendung.
Tiap kali Musso menjenguk orang tuanya,
tiga bersahabat itu selalu berkumpul. Hanya, belakangan Kiai Kemendung
jarang bergabung karena sibuk di pondok. “Tinggal Kakek dan Mbah
Musso. Seperti saudara kandung,” kata Agus.
Kini sepetak tanah kosong di Desa Jagung
menjadi saksi bisu lahirnya Musso, pentolan Partai Komunis Indonesia.
Rumah besar gaya priayi Jawa yang dulu berdiri megah di situ tak ada
bekasnya. Rumah itu sudah dibongkar puluhan tahun lalu. Hanya
rerumputan dan perdu yang tumbuh. Tanah itu kini milik Erny, 55 tahun.
Ia bukan kerabat Musso.
Erny membeli tanah ini dari Sidik. Rumah
dan tanah sekitar tiga hektare milik orang tua Musso belakangan
menjadi milik Sidik. Pada 1970-an, Sidik memecah tanah jadi sembilan
petak dan menjualnya. Saat itu harga tanah Rp 50 ribu per ru-satuan
luas setara 1 x 14,5 meter. “Mbah Sidik pindah ke dekat penjara
Mojoroto,” kata Erny, tiga pekan lalu. Mojoroto adalah kecamatan dalam
wilayah Kota Kediri. Tapi jejak Sidik tak ditemukan.
Sekitar 200 meter dari rumah itu,
Nyatin, 80 tahun, yang pernah menjadi pembantu rumah tangga orang tua
Musso, membuka warung kopi. Tapi Nyatin tak mau dikorek banyak soal
keluarga Musso. Ia pernah didatangi orang yang mengaku intelijen.
Itulah sebabnya Nyatin memilih mengubur dalam-dalam kisah kedekatannya
dengan keluarga Musso. “Saya takut,” kata dia, tiga pekan lalu.
Menurut Ruth T. McVey dalam The Rise of
Indonesian Communism, yang diterbitkan Cornell University Press,
Ithaca, New York, pada 1965, Musso menempuh sekolah guru di Batavia
atau Jakarta. Di sekolah ini, ia bertemu dengan Alimin, yang kelak
juga menjadi pentolan gerakan kiri Indonesia. Musso adalah anak didik
pertama G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan
bumiputra. Hazeu pula yang mengangkat Alimin sebagai anak. Hazeu
pertama kali berjumpa dengan Alimin sebagai bocah gembel di alun-alun
Solo. Hazeu memberi dia beberapa keping uang dan Alimin langsung
membagi rata kepada temannya. Hazeu terkesima oleh Alimin kecil yang
punya bibit sosialisme.
Di sekolah itu, Musso berguru pada
seorang reformis politis etis, D. Van Hinloopen Labberton, yang juga
Ketua Theosofische Vereeniging di Batavia. Madjallah Merdeka terbitan
Oktober 1948 seperti dikutip McVey menyebutkan, setelah tamat
pendidikan guru di Batavia, Musso kuliah di kampus pertanian di
Buitenzorg atau Bogor. Kampus ini cikal-bakal Institut Pertanian
Bogor.
Versi lain menyatakan Musso bersekolah
di Hogere Burger School. Soemarsono, pemimpin militer gerakan Madiun
1948, menyebutkan Musso dua tingkat lebih senior dibanding Sukarno,
yang masuk HBS Surabaya pada 1915. Di Surabaya, Musso kos di rumah
tokoh pergerakan Tjokroaminoto. HBS adalah sekolah lanjutan menengah
untuk orang Belanda, Eropa, atau elite pribumi.
Sekolah ini berpengantar bahasa Belanda
dan ditempuh lima tahun. Bekas gedung HBS Surabaya kini adalah Kantor
Pos Besar Kebonrojo, sekitar 300 meter dari rumah Tjokroaminoto di
Peneleh. Arnold C. Brackman dalam Indonesian Communism terbitan 1963
mengatakan Musso bekerja sebagai kasir kantor pos Surabaya. Di sini,
Musso berhasil mengorganisasi buruh kantor pos. “Musso juga punya
reputasi sebagai jagoan jalanan Surabaya,” kata Brackman.
Buku H.O.S. Tjokroaminoto, Hidup dan
Perdjuangannja, terbitan Partai Sarekat Islam, yang dikutip McVey,
menyebutkan rumah Tjokroaminoto tempat penting bertemunya secara
pribadi pemimpin pergerakan. Asrama ini dikelola Suharsikin, istri
Tjokroaminoto, pada 1913-1921. Di sini, Musso, Alimin, dan Sukarno
berguru pada Tjokroaminoto. Ketika Tjokroaminoto mendirikan Sarekat
Islam pada 1912, Musso juga aktif di pergerakan itu. Rumah
Tjokroaminoto menjadi pusat kegiatan Sarekat Islam.
Di rumah Tjokroaminoto ini, Musso
bertemu dengan Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, yang
suka pada ide-ide sosial demokrat revolusioner. Sneevliet datang ke
Hindia Belanda (Indonesia) pada 1913. Ia menetap di Surabaya selama
dua bulan dan menjadi Pemimpin Redaksi Handelsblad. Selama di
Surabaya, Sneevliet kerap berdiskusi dengan murid-murid Tjokroaminoto,
termasuk Musso. Musso bersama Alimin, Semaoen, Darsono, Mas Marco
Kartodikromo, dan Haji Misbach menjadi kader Sneevliet. Setahun
kemudian, Sneevliet mendirikan Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging (ISDV), yang berhaluan Marxisme.
Sneevliet pula yang memasukkan gagasan
sosialis dalam tubuh Sarekat Islam melalui Musso-Alimin dan lainnya.
Sneevliet jeli melihat Sarekat Islam sebagai organisasi rakyat yang
memiliki basis massa besar. Itu sebabnya Sneevliet masuk dan
menanamkan pengaruhnya dengan membangun blok merah di Sarekat Islam.
Apalagi Sneevliet adalah orang yang berani menyuarakan gagasan “Hindia
Belanda Merdeka”-gagasan yang revolusioner untuk masa itu ketika
Belanda kuat menancapkan imperialisme.
Soe Hok Gie dalam Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan mewawancarai Darsono, kawan pribadi Musso,
pada 1964. Menurut Darsono, Musso adalah orang yang senang amuk-amukan
karena ikut gerakan Sarekat Islam Afdeling-B. Sarekat Islam
Afdeling-B atau Seksi B atau Sarekat Islam B adalah suatu cabang
revolusioner. Gerakan ini didirikan oleh Sosrokardono pada 1917 di
Cimareme, Garut, Jawa Barat.
Menurut sejarawan Ricklefs, selain
menangkap Sosrokardono, Belanda menangkap Musso dan Alimin. Mereka
adalah orang ISDV yang disusupkan ke Sarekat Islam. Selama di penjara,
Musso mendapat perlakuan buruk. Meski begitu, sikap revolusioner dia
tak langsung tampak setelah bebas dari penjara. Menurut Soe Hok Gie,
perlakuan menyakitkan itulah yang membuat Musso makin benci kepada
Belanda. Di penjara ini pula Musso intens bertemu dengan kawan-kawan
komunis. “Di sana, Musso mendapat political lesson tentang komunisme
secara intensif,” kata Soe Hok Gie.
McVey menyatakan Van Hinloopen Labberton
berencana menjadikan Musso asisten mengajar di Jepang. Tapi
pemerintah Jepang menyatakan Musso tak memenuhi syarat. Ia dianggap
tak mampu mengajarkan bahasa Indonesia menggunakan pengantar bahasa
Inggris. Padahal Musso menguasai dua bahasa ini dengan baik. McVey
curiga itu lebih karena faktor Musso yang beraliran politik radikal.
Apalagi dia pernah dipenjara.
Segera setelah penolakan Jepang itu,
Musso mengumumkan berdirinya Partai Komunis Indonesia cabang Batavia.
Semaoen mendirikan Perserikatan Komunis Hindia yang kemudian menjadi
Partai Komunis Indonesia pada 1920. Musso dan Alimin bergabung dengan
Partai Komunis Indonesia pada 1923.
Guru Politik Sang Proklamator
RUMAH bercat putih di Jalan Peneleh VII�
Nomor 29�dan 31, Surabaya, itu memiliki model paling lawas
dibandingkan dengan para tetangga. Sejak 1870, arsitektur rumah
tersebut tak pernah diubah. Warga sekitar mengenal tempat tinggal
peninggalan Haji Oemar Said Tjokroaminoto itu sebagai rumah kos
Sukarno, sang proklamator.
Rumah kos sekaligus sebuah tempat kursus
politik Sukarno muda. “Orang di sini tahu hanya Bung Karno yang
pernah tinggal di rumah itu. Kalau yang lain-lain kami tidak pernah
mendapat cerita dari orang-orang tua kami,” kata Mariyun, salah
seorang warga asli di gang itu. Namun Bung Karno hanya satu di antara
sederet nama penting penghuni rumah tersebut: Musso, Alimin, Semaoen,
dan Kartosoewirjo.
Bekerja sama dengan sang istri,
Suharsikin, Tjokroaminoto-ketika itu menjabat Wakil Ketua Sarekat
Islam cabang Surabaya-menampung sekitar 30 pemuda Indonesia dengan
biaya ringan. Sukarno bersekolah di Hogere Burger School�(HBS)
Regenstraat, Surabaya. HBS setingkat sekolah lanjutan tingkat menengah
dengan masa pendidikan lima tahun. Sukarno mulai mondok sejak umur 14
tahun, sepanjang 1915-1920.
Musso memiliki tempat khusus di hati
Sukarno. Mereka bertukar pendapat di mana saja, kapan saja. Sembari
makan bersama, misalnya, Musso berbagi pikiran tentang penjajahan
Belanda yang membuat, “Kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara
bangsa-bangsa,” kata Sukarno dalam Sukarno an Autobiography karya
Cindy Adams.
Saat itu, menurut Ketua Lembaga
Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru, Sumaun�Oetomo, 87 tahun,
Musso telah menyelesaikan pendidikan di Batavia dan telah menjadi
aktivis di Sarekat Islam dan ISDV (Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Musso
aktif dalam gerakan yang sama bersama Alimin, Semaoen, dan Darsono.
Musso lebih tua empat tahun dibanding Sukarno, yang lahir pada 1901.
Berdasarkan penelusuran literatur, tak
ada penjelasan berapa lama Musso tinggal di rumah Tjokroaminoto.�
Yang jelas, pada 1919, Musso tak menghuni rumah itu lagi. Menurut Ruth
McVey dalam The Rise of Indonesian Communism, pada tahun itu Musso
dan Alimin terlibat kasus Sarekat Islam Afdeling-B di Jawa Barat dan
dijebloskan ke penjara. Keluar dari penjara itulah, pada 1920 Musso
menjadi anggota Partai Komunis Indonesia-penerus warisan ISDV.
Berpisah selama hampir tiga dasawarsa,
Sukarno dan Musso bertemu lagi pada 13 Agustus 1948 pukul 10 pagi di
Istana Negara. Musso menyamar sebagai Soeparto, sekretaris
Soeripno-dubes RI untuk Cekoslovakia di masa Amir Sjarifoeddin. Dalam
bukunya Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie melukiskan
betapa mengharukan pertemuan itu. “Bung Karno memeluk Musso dan Musso
memeluk Sukarno. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka
keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka
menggambarkan kegembiraan itu,” demikian kesaksian Soepeno, pemimpin
redaksi surat kabar Revolusioner, yang hadir dalam pertemuan itu,
seperti dikutip Soe Hok Gie.
Dengan bangga Bung Karno bercerita
kepada Soeripno tentang masa lalunya dengan Musso. “Musso ini dari
dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia jago pencak,” kata
Sukarno. Sukarno juga bercerita tentang hobi Musso bermain musik dan
bila berpidato akan menyingsingkan lengan baju.
Sukarno pun menyindir soal perkembangan
politik komunis internasional. Pengetahuan Sukarno tentang komunis
sempat membuat Muso ternganga. Bung Karno menjawab keheranan Musso
dengan pengakuannya, “Saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak
Tjokroaminoto, dan Pak Musso!”
Sukarno menunjukkan kekiriannya dengan
memperlihatkan buku karangannya, Sarinah. Dalam buku itu, Sukarno
mengutip ucapan-ucapan Lenin dan Stalin. Buku itu diberikan kepada
Musso sebagai tanda mata.
Tiga puluh tujuh hari setelah pertemuan
itu, pecah Peristiwa Madiun. Keduanya saling memaki. Meski begitu,
rasa hormat Sukarno kepada Musso sebagai guru tak luntur. Dalam
wawancara dengan Cindy Adams, Sukarno berkata, “Ajaran Jawa
mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita harus dihormati lebih
dari orang tua.”
Pengkhianatan di Singapura
MENYAMAR sebagai matros, Musso tiba di
Singapura pada awal 1926. Tak ada petugas yang mengenali tokoh penting
Partai Komunis Indonesia itu. Rute pelayaran
Sumatera-Singapura-Malaka yang amat ramai, dan keahlian Musso
memalsukan dokumen, memudahkan pria kelahiran Desa Jagung, Kecamatan
Pagu, Kediri, Jawa Timur, pada 1897, itu menyusup masuk.
Musso dan Alimin sebetulnya pernah
ditahan di Singapura, tapi kemudian dilepaskan. “Pemerintah Singapura
hanya memperhatikan orang yang masuk ke Malaka dengan cara ilegal,”
kata sejarawan Harry Poeze kepada Tempo di Yogyakarta pekan lalu.
Musso, Budisutjitro, dan Sugono ketika
itu sedang menjadi buron pemerintah kolonial Belanda. Di Singapura,
ketiga buron ini bertemu dengan Alimin dan Subakat, anggota PKI yang
juga sedang diburu polisi Belanda.
Mereka mematangkan rencana pemberontakan
yang dijadwalkan pada medio 1926. Rapat itu kelanjutan pertemuan
rahasia di Prambanan, Jawa Tengah, Desember 1925. Pada rapat kilat
itu, para pemimpin PKI di bawah Sardjono memutuskan akan melakukan
pemogokan yang diikuti pemberontakan bersenjata.
Gerakan akan dimulai di Padang, Sumatera
Barat-cabang PKI paling kuat. Ruth T. McVey dalam The Rise of
Indonesian Communism mencatat mereka mendirikan organisasi rahasia
bernama “Organisasi Diktatorial” untuk memimpin partai, dan
“Organisasi Kembar” untuk mempersiapkan pemberontakan. Sugono, Ketua
Serikat Buruh Kereta Api (VSTP), diam-diam meragukan rencana
pemberontakan itu. Dia tahu ikatan buruh masih lemah sehingga tak
mungkin melakukan pemogokan umum.
Ketika Musso dan kawan-kawan tiba di
Singapura, Tan Malaka justru telah meninggalkan negeri bandar itu, dan
tinggal di Manila, Filipina. Musso mengutus Alimin untuk menemui Tan
Malaka-yang menjadi wakil Komunis Internasional di Asia Tenggara.
Dalam buku Pergulatan Menuju Republik:
Tan Malaka, Harry Poeze menduga pemimpin komunis berwibawa yang sedang
menderita penyakit tuberkulosis ini tengah mencari perlindungan dari
kawan-kawannya di Filipina. Di sana, Tan sudah mengetahui rencana
pemberontakan melalui surat pengurus PKI tertanggal 16 Desember 1925.
Dalam surat itu, pengurus PKI meminta
Tan Malaka menjadi perantara untuk meminta dukungan Moskow. Membaca
surat itu, Tan terkejut. Ia termasuk orang yang taktis dan selalu
berhati-hati. Pada 4 Januari 1926, ia mengirim surat balasan yang
menolak rencana pemberontakan itu.
Soe Hok Gie, dalam buku Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan, menyatakan lima faktor yang menyebabkan Tan
Malaka menentang putusan Prambanan. Antara lain: belum ada situasi
revolusioner, tingkat disiplin PKI masih rendah, seluruh rakyat belum
berada di bawah PKI, belum ada tuntutan yang konkret, dan imperialisme
internasional sedang bersekutu melawan komunisme.
Mulanya, Budisutjitro dan Subakat juga
akan menemui Tan Malaka di Manila. Tapi, begitu membaca surat balasan
Tan, mereka mengurungkan niat. Mereka memutuskan menunggu kedatangan
Tan dan Alimin ke Singapura untuk sebuah konferensi. Musso geram abis
membaca surat penolakan itu. Dari sinilah berawal perseteruan Musso
dan Tan Malaka.
“Menurut Tan Malaka, rencana aksi tidak
matang,” kata Poeze. “Musso dan Alimin punya pikiran pendek.”
Perbandingan kekuatan kolonial dan PKI juga sangat tidak seimbang.
Lantaran kurang sehat, Tan Malaka tak datang ke Singapura. Alimin
kembali pulang sendirian. Harry Poeze menyatakan Tan Malaka hanya
menitipkan risalah penolakan keputusan Prambanan. Dia menilai
keputusan itu tanpa pertimbangan matang, dan beberapa pemimpin PKI
tidak mempunyai wewenang mengorganisasi pemberontakan tanpa
persetujuan Moskow.
Di bangsal kebun pepaya milik Ki Masduki
di Geylang Serai, pinggiran Singapura, Alimin menemui para pemimpin
PKI yang sedang buron itu: Sardjono, Budisutjitro, Sugono, Winanta,
Musso, Subakat, dan Agam Putih, yang menanti dengan tak sabar. Namun,
dalam rapat itu, Alimin tak menyampaikan lengkap alasan penolakan Tan
Malaka.
Poeze menduga Alimin sengaja menutupi
sikap Tan, agar rencana pemberontakan tetap berjalan, dan ia bisa
dikirim ke Moskow sebagai utusan PKI. Dalam buku Sedjarah PKI,
Djamaluddin Tamim menulis, ketika di Manila, tiga kali Alimin bertanya
kepada Tan Malaka kapan ia dikirim ke Moskow.
“Risalah itu tidak pernah dibicarakan
dan tidak pernah dibacakan oleh Alimin,” kata Poeze. “Ia hanya bilang
Tan Malaka setuju, padahal tidak.” Sebaliknya, Alimin melapor kepada
Tan Malaka bahwa risalah sudah disampaikan, tapi ditolak pemimpin PKI
yang lain.
Pada medio Maret 1926, Musso dan Alimin
berangkat ke Moskow, dengan lebih dulu singgah ke Kanton, Cina. Mereka
pergi tanpa sepengetahuan Tan Malaka. Tak pernah ada pertemuan antara
Musso dan Tan Malaka.
Lantaran tak mendapat kabar apa-apa dari
Singapura, Tan Malaka mengirim laporan tentang keputusan Prambanan
dan pendapatnya atas rencana pemberontakan itu kepada Komintern. Surat
Alimin baru tiba dua bulan kemudian, yang menyatakan konferensi di
Singapura batal serta memberitahukan rencana kepergiannya ke Moskow.
Membaca surat itu, “Tan Malaka merasa Alimin menipunya,” kata Poeze.
Setelah itu, Tan Malaka bergegas ke
Singapura untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setiba di
sana, pada Juni 1926, Tan hanya bertemu dengan Subakat dan Agam Putih.
Alimin dan Musso sudah berangkat ke Moskow, dan pemimpin lainnya
balik ke Indonesia. “Dia mendapat informasi risalah itu tidak pernah
dibicarakan oleh Alimin,” kata Poeze. Tan Malaka merasa dikhianati
oleh Alimin dan Musso.
Kepada Subakat, Tan Malaka menyampaikan
alasan penolakannya. Pada medio Juni, Subakat menulis surat kepada
para pemimpin PKI agar mau bertemu dengan Tan Malaka di Singapura.
Suprodjo, sebagai Ketua PKI, langsung datang ke Singapura. Tan Malaka,
Subakat, dan Suprodjo sepakat membatalkan keputusan Prambanan.
Pada awal Juli, Suprodjo membawa hasil
kesepakatan itu ke Indonesia. Namun sejumlah pemimpin PKI berniat
tetap meneruskan pemberontakan, meski hanya empat cabang yang ikut,
yaitu Batavia, Banten, Priangan, dan Sumatera Barat. Pemberontakan
seharusnya dilaksanakan pada Mei-Juni, tapi mundur dari jadwal.
Budisutjitro dan Tamim ingin aksi tetap
berlanjut, tapi ragu-ragu karena tidak semua cabang PKI siap. Tamim
berangkat ke Singapura pada akhir Juni 1926 menemui Subakat dan
mencari Alimin-Musso. Secara tak terduga dia malah bertemu dengan Tan
Malaka. Awalnya, Tamin sangat yakin akan rencana pemberontakan, tapi
akhirnya mengalah juga oleh argumen Tan Malaka.
Di Moskow, Musso menjegal Tan Malaka.
“Ini sejarah yang pedih dan peran Musso tidak begitu baik,” kata
Poeze. “Ini pengkhianatan kawan separtai.” Kelompok Tan Malaka
melakukan berbagai upaya untuk mencegah rencana pemberontakan. Di
Jawa, para pemimpin PKI yang nekat meneruskan keputusan Prambanan pun
mulai melihat tanda-tanda amburadulnya organisasi cabang dan sulitnya
menggalang dana.
Pemberontakan tetap meletus pada 12
November 1926 di Jawa Barat, seperti Batavia dan Banten, lalu pada
Januari 1927 di Silungkang, Sumatera Barat. Belanda dengan cepat bisa
menguasai keadaan. Hanya dalam beberapa pekan, keamanan pulih.
Orang-orang komunis ditangkapi, dan tiga tokoh pemberontakan di Jawa
Barat-Egom, Hasan, dan Dirdja-dihukum gantung.
Tan Malaka dan pendukungnya hanya bisa
menyaksikan tragedi itu tanpa daya. Alimin dan Musso tak diketahui
rimbanya. Mereka baru kembali ke Singapura pada pengujung 1926.
Keduanya memang telah berpesan kepada para pemimpin PKI: disetujui
atau tidak oleh Moskow, pemberontakan harus tetap berjalan.
Bung Hatta, dalam memoarnya yang
diterbitkan oleh Tintamas, menulis: “Alimin dan Musso pergi ke Moskow
mencari persetujuan. Tapi mendengar laporan itu, Stalin marah dan tak
setuju, serta meminta pembatalan rencana pemberontakan.” Hatta
mendengar cerita itu dari Semaoen, yang singgah di Den Haag setelah
mengunjungi Moskow.
Soe Hok Gie menulis, akibat
pemberontakan PKI 1926, tak hanya PKI yang dibubarkan. Pecahnya PKI
mempengaruhi mundurnya gerakan kaum kiri di Indonesia. Poeze
menambahkan, “Kalau ada gerakan kiri yang bersatu, Indonesia yang
sosialis akan lebih besar waktu revolusi.”
Bangkit Setelah Mati Suri
POLISI bernama Ahmad dan Sanusi mengetuk
pintu rumah Tribudi-bukan nama sebenarnya-di Candi, Semarang, sekitar
pukul dua dinihari. “Zus, Zus, cepat bangun. Sekarang juga kita
berangkat,” kata mereka kepada ibu Tribudi. Sang ibu segera bersiap,
dan bersama ketiga anaknya, termasuk Tribudi yang masih bayi merah,
segera menuju kapal Kruiser Java di pelabuhan Semarang. Ayah Tribudi
dan banyak orang lain telah menunggu di sana.
Sekitar dua pekan kemudian, tepatnya 23
Maret 1927, rombongan interniran-orang buangan-ini tiba di Tanah
Merah, Boven Digul, Papua. Di sana, menurut Tribudi, mereka dibawa ke
barak-barak yang sudah dihuni oleh rombongan interniran gelombang
pertama. “Rombongan Pak Ali Archam dan kawan-kawan,” tulis pria 84
tahun ini kepada Tempo lewat surat elektronik.
Ribuan tokoh dan pendukung Partai
Komunis Indonesia dibuang ke Boven Digul akibat pemberontakan yang
mereka lakukan pada 1926-1927. Setelah periode bergejolak itu, PKI
tercerai-berai. Buku The Rise and Fall of the Communist Party of
Indonesia karya Guy J. Pauker menyebutkan, pascapemberontakan, sekitar
13 ribu orang ditangkap, 5.000 ditahan untuk mencegah kembali
terjadinya huru-hara, 4.500 dipenjara, dan 1.308 dibuang ke Digul. PKI
dinyatakan ilegal pada 1927. Partai pun sekarat. Apalagi, sebelumnya,
sudah banyak petingginya yang dibuang, ditahan, atau dipaksa
meninggalkan Indonesia.
Soe Hok Gie dalam buku Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan menyebutkan Ali Archam dibuang ke Digul pada
1925. Tan Malaka sudah dipaksa pergi tiga tahun sebelumnya. Haji
Misbach meninggal pada 1926 setelah dua tahun hidup di pembuangan.
Alimin pun telah lari.
Belanda berusaha menangkap Musso pada
Januari 1926. Tapi ia berhasil lolos ke Singapura, bergabung dengan
Alimin, Subakat, Sanusi, dan Winata. Setelah insiden 1926, Musso
berlabuh ke Rusia, Semaoen ditugasi ke Tajikistan, dan Alimin
mengembara sebagai petugas Komunis Internasional (Komintern) di Cina.
PKI memang mati suri, tapi usaha
menghidupkannya kembali tetap dilakukan. Dalam tulisan Soetopo
Soetanto di buku Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis
disebutkan, di Bangkok, Tan Malaka membentuk Partai Republik
Indonesia, meski akhirnya gagal.
Di Belanda, Semaoen mendatangi Mohammad
Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia. PKI dan Perhimpunan membuat
konvensi. Isinya antara lain Perhimpunan Indonesia mengambil
kepemimpinan dan bertanggung jawab penuh atas gerakan rakyat
Indonesia, PKI harus mengakui kepemimpinan Perhimpunan, dan percetakan
di bawah PKI harus diserahkan ke Perhimpunan. Tapi, karena tekanan
Komintern, konvensi tersebut dibatalkan setahun kemudian, 19 Desember
1927.
Pada saat bersamaan, kader PKI seperti
Abdulmadjid berusaha merekrut simpatisan, di antaranya Setiadjid,
Rustam Effendi, Sidartawan, Maroeto Daroesman, Gondopratomo, dan Jusuf
Muda Dalam. Ketika fasisme mulai mengoyak dunia, dan Jerman menduduki
Belanda, kaum komunis Indonesia tersebut-bersama aktivis lain-ikut
dalam gerakan bawah tanah. Saat itu, Moskow menetapkan kebijakan baru
dengan membentuk front yang menyatukan kaum komunis, sosialis, dan
borjuis yang dinamai Garis Dimitrov. Mahasiswa komunis Indonesia di
Belanda tidak lagi menuntut “kemerdekaan sekarang juga”.
Di Digul, menurut Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan, keadaan juga kacau. Sebagian orang buangan di
bawah Gondojuwono bekerja sama dengan Belanda. Yang tetap keras,
termasuk Ketua Umum PKI Sardjono, diasingkan ke tempat yang lebih
terpencil, ke Gudang Arang, kemudian ke Tanah Tinggi.
Pada 1937, ketika berdatangan orang
buangan dari grup PKI Muda atau PKI 1935, seperti Hardjono, Djoko
Soedjono, dan Achmad Sumadi, warga buangan di Digul mendapat angin
baru. Garis baru Komintern: bekerja sama dengan kaum borjuis dan
kolonialis untuk melawan fasis serta memperkuat keyakinan kelompok
yang menghalalkan kerja sama dengan Belanda. Mereka pun membentuk
Komite Antifasis, yang menyatakan setia ke Hindia Belanda, dan
bersedia dipersenjatai untuk melawan kekuatan fasis. Namun taktik itu
gagal karena pasukan Jepang keburu menjejak pintu gerbang Digul. Para
interniran tersebut diangkut ke Australia.
Di Negeri Kanguru, mereka membuka kontak
dengan Partai Komunis Australia dan membentuk PKI di pengasingan
dengan Komite Pusat di Brisbane. Penggeraknya adalah Ngadiman, Djoko
Soedjono, dan Sabariman. PKI baru ini juga meminta Sardjono, yang
tinggal di Melbourne, membentuk PKI Sibar (Serikat Indonesia Baru).
Mereka bekerja sama dengan Belanda.
Kelompok yang menentang keputusan
Komintern 1935 mendirikan Partai Kebangsaan Indonesia, yang tetap
berslogan “Indonesia merdeka sekarang juga”. Sedangkan di Jawa,
sebelum 1935, tak ada peristiwa luar biasa di tubuh PKI. Aktivis
komunis yang tersisa bersembunyi atau bergabung dengan organisasi
lain.
Ketika Moskow memutuskan kebijakan baru
dengan menetapkan Garis Dimitrov, Musso kembali ke Indonesia dan
membentuk PKI Muda atau PKI 1935. Pengurusnya adalah Pamudji, Sukajat,
Djoko Soedjono, Achmad Sumadi, Sutrisno, Sukindar, dan Soehadi. Tapi
kemudian pemimpin PKI Muda juga ditangkapi dan dibuang ke Digul.
Pamudji, yang sempat lolos, bergerak di bawah tanah. Sebagian
pendukung PKI lain bergabung dengan Gerakan Rakyat Antifasis. Ada juga
yang kemudian tergabung dalam Gerindo dan Partai Sosialis Indonesia.
Apalagi saat itu sudah ada Garis
Dimitrov yang mengizinkan kaum komunis bekerja sama dengan kaum
nasionalis dan kolonialis. Banyak orang komunis bekerja sama dengan
politikus non-PKI dan Belanda, termasuk Amir Sjarifoeddin. Dalam buku
Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis, Soetopo Soetanto
menyebutkan Amir menerima tawaran Van der Plas membentuk jaringan
bawah tanah untuk melawan Jepang. Ia pun diberi US$ 10 ribu untuk
mendanai gerakannya.
Mantan Ketua Lembaga Kebudayaan
Rakyat-salah satu organisasi di bawah PKI-Jawa Tengah, Hersri
Setiawan, membenarkan kisah tersebut. “Karena itulah PKI disebut
sebagai PKI Van der Plas,” katanya. Karena aktivitas bawah tanahnya,
pada 1944, Amir bersama ratusan orang lain, termasuk Pamudji,
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Jepang. Namun Amir
terselamatkan dengan campur tangan Sukarno-Hatta.
PKI mati suri. Baru setelah deklarasi
kemerdekaan, para aktivis komunis kembali muncul terang-terangan. Pada
21 Oktober 1945, Mohammad Jusuf menghidupkan kembali PKI. Namun, pada
Maret 1946, ia memberontak untuk mendirikan Republik Indonesia
Soviet. Menurut Harry Poeze dalam The Cold War in Indonesia, 1948,
Panitia Pemberesan (Purgation Committee) kemudian mengumumkan PKI
Jusuf bukan penerus PKI 1926.
Pada saat bersamaan, para tetua komunis
dari negeri seberang pulang ke Tanah Air. Pada Maret 1946, kelompok
Digul datang dari Australia, disusul para mahasiswa dari Belanda, yang
dikenal sebagai kelompok PKI intelektual, seperti Setiadjid,
Abdulmadjid, dan Maroeto Daroesman. Pada Agustus, Alimin juga datang.
Tan Malaka telah pulang pada Januari
sebelumnya. Ia langsung membentuk Persatuan Perjuangan yang mendukung
kemerdekaan Indonesia. Saat itu, kebanyakan pendatang bersikap
moderat. Menurut Hersri, PKI dari sayap Belanda dan Digul membentuk
satu kelompok. “Mereka ingin meneruskan garis Partai Komunis Belanda,
membentuk commonwealth,” katanya.
Amir Sjarifoeddin pun tetap menjalankan
Garis Dimitrov. Dia kemudian menduduki jabatan perdana menteri,
merangkap menteri pertahanan. Namun, ketika muncul kebijakan baru yang
dideklarasikan saat pembentukan Communist Information Bureau
(Cominform), yakni Garis Zhdanov, pada September 1947, era kompromi
dan kerja sama dengan kaum nasionalis dan kolonialis pun putus.
PKI melakukan revisi. Semua kebijakan
lama disalahkan, termasuk penandatanganan Perjanjian Renville oleh
Amir Sjarifoeddin dan penyerahan kekuasaannya. “Ia sampai diadili
teman-temannya sendiri,” kata tokoh Pemuda Sosialis Indonesia yang
juga salah satu pemimpin insiden Madiun, Soemarsono. Kedatangan Musso
pada Agustus 1948 kian mengeraskan PKI. Musso pun memulai kampanye
konsep baru, “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.
Bersuara di Rusia
MUSSO kembali ke Moskow pada 1927,
setelah berhasil lolos dari pengejaran tentara kolonial Belanda.
Beberapa bulan sebelumnya, Musso memang pernah ke Moskow guna meminta
persetujuan untuk memberontak melawan Belanda. Di negara tempat dia
berkiblat, Musso menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan Partai
Komunis Soviet bersama kawan Alimin dan Semaoen. Sekitar sepekan
sekali, ia mengisi siaran berbahasa Indonesia di radio pemerintah.
Jangkauan radio ini memang tidak mencapai Indonesia. Siarannya lebih
ditujukan ke mahasiswa dan aktivis Indonesia yang saat itu banyak
berada di sana.
Musso juga masuk ke struktur partai dan
menjadi staf urusan Indonesia. Lewat penerbitan komunis internasional
bernama Inprekorr, singkatan bahasa Jerman untuk “korespondensi pers
internasional”, ia menyerang Tan Malaka. Menggunakan nama alias Krause
dalam artikel yang menyoal Trotskyisme di Indonesia, ia menuding Tan
sebagai pengkhianat bangsa dan layak dibunuh. Ini masih berhubungan
dengan konflik keduanya mengenai pemberontakan 1926 yang dilibas
Belanda. Lewat artikel satu halaman berhuruf kecil yang tersusun dua
kolom itu, Musso melabeli Tan sebagai pengikut Trotsky, lawan politik
Joseph Stalin, pemimpin utama Partai Komunis Soviet, yang menjadi
kiblat komunisme internasional.
Karier Musso kembali moncer berkat
keikutsertaannya dalam Kongres Komunis Internasional (Komintern) ke-6,
yang digelar di Moskow pada Juli 1928. Joseph Vissarionovich Stalin,
yang saat itu baru empat tahun memimpin Soviet dan sedang giat
mengukuhkan kekuasaannya, memimpin langsung kongres tersebut.
Stalin mendeklarasikan tujuan utama
komunisme, yaitu menciptakan sistem komunis dunia yang berada dalam
kontrol Rusia. Ia menggunakan kesempatan ini untuk mengecam perlawanan
Sun Yat Sen dan Mahatma Gandhi dalam mengusir penjajah Barat.
Keduanya disebut sebagai nasionalis borjuis. Namun Stalin menutup
mulut rapat-rapat terhadap petualangan Musso dan Alimin dalam usaha
mendongkel Belanda. Ini ditafsirkan sebagian orang sebagai restu
Stalin terhadap gerakan komunis Musso.
Kongres Komunis Internasional ke-6 ini,
selain oleh Musso, diikuti oleh Alimin, Semaoen, Darsono, dan Tadjudin
sebagai utusan Tan Malaka. Musso menggunakan nama samaran Manavar,
Semaun dengan nama K. Samin, Alimin memakai nama Animin, dan Tadjudin
beralias Alphonso. Musso memanfaatkan forum ini untuk menjelaskan
penyebab tumpasnya pemberontakan komunis di Jawa dan Sumatera pada
1926. Menurut dia, pemberontakan gagal akibat pertikaian parah di
antara pimpinan partai.
Seusai kongres, Musso didapuk sebagai
anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional. Ia juga sempat
mengikuti pendidikan di sebuah universitas di Moskow, tetapi berhenti
di tengah jalan karena sibuk mengurusi partai. Misalnya, Musso sempat
berkunjung ke Vladivostok, yang terletak di sebelah timur Rusia. Di
sana ia menggunakan nama samaran Sidin atau Sheegin untuk menghindari
penciuman intelijen Barat.
Dalam perjalanannya kembali ke Indonesia
dari Moskow, pada sekitar awal 1948, Musso mampir ke Belgia dan
Prancis. Di dua negara itu ia berhubungan dengan para pemimpin komunis
setempat. Ia sempat ditahan aparat dan dijebloskan ke penjara. Di
Prancis ia menemui Maurice Thorez, seorang pemimpin komunis setempat.
Ia juga sempat ke Belanda dan berbicara
panjang lebar dengan Paul de Groot, pimpinan Communistische Partij
Nederland. De Groot dan Musso terlibat perdebatan panas mengenai
perlu-tidaknya Indonesia tetap dalam persemakmuran di bawah Belanda
jika merdeka. De Groot akhirnya mengalah dan menerima desakan Musso
agar Partai Komunis Belanda mendukung kemerdekaan Indonesia. Namun De
Groot hanya memberinya sedikit uang untuk ongkos pulang ke Indonesia.
Kaum Merah Dari Bawah Tanah
SUATU siang April 1935. Siti Larang
Djojopanatas, aktivis perempuan progresif di Surabaya, diminta menemui
seorang tamu rahasia di Hotel Simpang, hotel terkenal di kota itu.
Penghubungnya bernama Pamudji, pemimpin koran Indonesia Berdjoeang.
Siti Larang bergegas berangkat. Ketika
itu, baru setahun berlalu setelah Siti kehilangan suaminya,
Sosrokardono. Sosro adalah tokoh PKI senior yang dipenjara pemerintah
kolonial Belanda pada 1919 dengan tuduhan menggerakkan pemberontakan
Sarekat Islam di Afdeling-B di sekitar Garut, Jawa Barat. Dua tokoh
PKI, Musso dan Alimin, ketika itu juga dibui dengan dakwaan yang sama.
Tak disangka-sangka, tamu rahasia yang
menunggu Siti adalah Musso. Pemimpin PKI yang lari ke Moskow, Rusia,
pascapemberontakan 1926 itu ternyata diam-diam sudah menyusup masuk ke
Indonesia.
Siti Larang adalah salah satu orang
pertama yang dicari Musso sekembalinya ke Tanah Air. Selain dekat
dengan suaminya, Sosrokardono, Musso sudah mengenal Siti sejak
bersama-sama menumpang hidup di rumah Ketua Sarekat Islam H.O.S.
Tjokroaminoto.
“Saya perlu dicarikan rumah kontrakan
untuk beberapa bulan,” kata Musso, begitu mereka bersua, seperti
dikutip dari catatan obituari saat Siti meninggal September 1998.
Dalam pertemuan itu, Musso banyak bercerita soal ancaman kekuatan
fasisme di Eropa dan Asia. Perkembangan baru ini tentu menuntut
strategi baru kaum komunis.
Di Moskow, angin perubahan memang tengah
berembus. Pada awal 1935, Georgi Dimitrov terpilih sebagai Sekretaris
Jenderal Komunis Internasional. Dialah yang berperan mengubah taktik
perjuangan kaum komunis. Dari semula berkeras memerangi imperialis,
mereka kini mulai mengulurkan tangan kepada golongan kapitalis dan
borjuis nasional.
Tak hanya itu. Dimitrov juga
mengeluarkan instruksi agar anggota-anggota Komintern di wilayah
jajahan mulai bekerja sama dengan penguasa kolonialnya untuk
menghambat gerak maju kaum fasis. Soe Hok Gie dalam bukunya,
Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, menyebut Musso sebagai agen
Komintern yang mendapat mandat untuk menjelaskan garis baru itu di
Indonesia.
Pada pertemuannya dengan Siti Larang,
Musso mengaku akan segera “mendirikan front demokrasi antifasis di
sejumlah kota”. Tampak jelas Musso ingin memanfaatkan perubahan taktik
perlawanan Komintern untuk membangkitkan kembali PKI di Indonesia.
Langkah pertama Musso ketika itu adalah
mempublikasikan Garis Dimitrov di sejumlah surat kabar lokal. Koran
Indonesia Berdjoeang, yang dipimpin Pamudji, termasuk yang getol
memuat artikel Musso. “Dia menulis tiga artikel soal ini,” kata Sumaun
Oetomo, Ketua Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru.
Karena itulah Pamudji dipercaya Musso
menjadi salah satu pemimpin Komite Sentral PKI baru. Musso juga
merekrut Azis, Sukajat, dan Djoko Soedjono. Mereka berlima menjadi
ujung tombak upaya aktivis komunis mengkonsolidasikan kembali
kekuatannya. “Fokus Musso ketika itu adalah Surabaya dan Solo, Jawa
Tengah,” kata Hersri Setiawan, mantan Ketua Lekra Jawa Tengah.
Selama enam bulan-sumber lain menyebut
satu tahun-di Indonesia, Musso aktif berkeliling dan memberikan
ceramah. “Tapi semuanya dilakukan secara rahasia,” kata Sumaun.
Kuatnya jejaring dinas intelijen Belanda, Politieke Inlichtingen
Dienst, membuat gerak-gerik kaum kiri di Tanah Air saat itu amat
sempit. Tak sedikit aktivis komunis yang ditangkap sebelum sempat
melakukan apa pun. Pamudji bahkan dihukum mati.
Dalam kondisi terjepit itu, Musso
berhasil menarik Amir Sjarifoeddin dan Tan Ling Djie masuk PKI. “Musso
dikenalkan pada Amir melalui anggota Perhimpunan Indonesia yang
kiri,” kata Sumaun. Lapis pertama kader Musso di Surabaya ini juga
berhasil melantik puluhan pemuda, termasuk Sudisman dan Soemarsono,
menjadi kader merah.
Mereka inilah yang kemudian berperan
besar dalam aksi-aksi sabotase anti Jepang pada periode 1942-1945.
Namun, sesuai dengan instruksi Musso saat itu, semua aksi mereka
dilakukan tanpa bendera palu-arit. “Itulah kesalahan strategi besar
PKI: terlambat muncul dari bawah tanah,” kata pentolan Pemuda Sosialis
Indonesia, Soemarsono.
Kembalinya Sang Komunis Tua
PESAWAT amfibi Catalina itu mendarat di
rawa-rawa Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur,
pada 10 Agustus 1948. Pada masa itu, rawa-rawa luas di dekat bendungan
Niyama itu memang sering menjadi titik pendaratan pesawat yang
membawa tamu-tamu rahasia untuk Republik.
Dua pria beriringan keluar dari pesawat.
Seorang pria belia berperawakan tinggi ramping ditemani seorang pria
setengah baya bertubuh gempal dengan wajah keras. Yang lebih muda
bernama Soeripno, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Praha,
Cekoslovakia. Adapun pria di belakangnya mengaku bernama Soeparto,
sekretaris pribadi Soeripno.
Di tepi rawa-rawa, sebuah mobil menanti.
Menurut sejarawan Belanda, Harry Poeze, mobil penjemput hari itu
adalah milik pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemadi Partoredjo.
Seperti dikutip dari buku Poeze, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de
linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949, mobil itu
dipilih karena kondisi keempat bannya yang masih baik.
Tak lama berbasa-basi, rombongan segera
melaju pergi. Mereka mengarah ke Solo, Jawa Tengah. Di sana, Gubernur
Militer Wikana-seorang tokoh Partai Komunis Indonesia terpandang-sudah
bersiap menyambut dua tamu dari jauh itu.
Tak banyak yang sadar bahwa kedatangan
dua orang dari Praha ini akan membawa konsekuensi politik yang amat
besar untuk perjalanan sejarah Republik Indonesia muda, beberapa pekan
berikutnya.
Pria setengah baya yang mengaku sebagai
“sekretaris” itu sebenarnya adalah Musso, 50 tahun, tokoh legendaris
PKI yang ikut mencetuskan pemberontakan para buruh pada 1926. Setelah
lebih dari 20 tahun bermukim di Moskow, Rusia, pada medio 1948 itu dia
memutuskan sudah saatnya kembali ke Indonesia.
l l l
MOSKOW, Januari 1948, delapan bulan
sebelum kepulangan Musso. Perjanjian Renville baru saja ditandatangani
di Indonesia. Pemimpin Partai Komunis Uni Soviet bergegas meminta
sebuah laporan dibuat mengenai kondisi terakhir gerakan komunis di
Nusantara.
Analisis itu dinilai penting karena,
setahun sebelumnya, Moskow baru merilis garis perjuangan baru yang
lazim dikenal sebagai doktrin Andrei Zhdanov. Berdasarkan teori ini,
kaum komunis dianjurkan “mulai mengambil jarak dari kubu imperialis
yang dimotori Amerika Serikat”. Tindakan Perdana Menteri Amir
Sjarifoeddin-pemimpin koalisi sayap kiri di kabinet Indonesia, yang
menandatangani pakta Renville di atas kapal Amerika yang berlabuh di
Tanjung Priok-menimbulkan tanda tanya di Moskow.
Musso segera menyusun laporan. Namun
minimnya informasi tangan pertama membuat analisisnya tidak akurat.
Kepada pemimpin Partai Komunis Uni Soviet, Musso membela tindakan Amir
dan kameradnya di Indonesia. Dia menyebutnya sebagai “taktik saja,
untuk tidak menarik perhatian kaum antikomunis”. Musso bahkan menjamin
posisi kelompok kiri dalam militer Indonesia masih cukup kuat.
Dalam hitungan hari, analisis Musso
terbantah habis. Pada 23 Januari 1948, sepekan setelah Renville
ditandatangani, Amir Sjarifoeddin dipaksa mundur dari kursi perdana
menteri. Posisi politik dua rival blok kiri, Masyumi dan Partai
Nasional Indonesia, juga menguat.
Kesalahan laporan Musso segera dikritik
hebat. Sejarawan Rusia, Larissa Efimova, mengutip laporan dua analis
Rusia, Kogan dan Luhlov, menuding Musso “berkhayal” dan “membenarkan
sebuah strategi yang membawa malapetaka”.
Kepala Divisi Asia Tenggara di
Departemen Kebijakan Luar Negeri Komisi Sentral Partai Komunis di Uni
Soviet, Plishevsky, mengirim surat ke Politbiro dan menegaskan bahwa
“taktik keliru PKI telah menyebabkan berpindahnya kekuasaan di
Indonesia kepada partai-partai kanan”.
Meski tak pernah ada dokumen yang
menegaskan adanya tugas resmi dari Moskow kepada Musso, dalam bukunya,
Dari Moskow ke Madiun?, Larissa menyebut Musso “merenungkan cukup
lama kritik Partai Komunis Uni Soviet atas taktik lama PKI” sebelum
akhirnya menetapkan diri untuk mengambil peran sentral meluruskan
garis perjuangan partainya.
l l l
Pada April 1948, Musso meninggalkan
Moskow, menuju Praha, Cekoslovakia. Di sana, dia mengaku bernama Musin
Makar Ivanovich, dan menyamar menjadi sekretaris pribadi Soeripno,
pejabat Indonesia setingkat duta besar yang ditempatkan Menteri Luar
Negeri Agus Salim di sana sejak medio 1947.
Pada pekan ketiga Mei 1948, Soeripno
berhasil membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. Keberhasilan
Soeripno ini disambut pro-kontra-sebagian menilai hubungan diplomatik
resmi dengan Soviet bisa mendorong Republik jauh ke kiri. Tak sampai
sepekan kemudian, sebuah kawat resmi dikirim ke Praha: Soeripno
dipanggil pulang ke Yogyakarta. Sekretaris pribadinya, Musin Ivanovich
alias Musso, ikut pulang ke Indonesia.
Selama enam minggu di perjalanan-dari
Praha, lewat Kairo, New Delhi, berhenti sebentar di Bangkok lalu
Bukittinggi-Musso terus merahasiakan identitasnya. Menurut catatan
Harry Poeze, dia bahkan berkeras tidak mau difoto. “Setiap kali ada
kamera mengarah kepadanya, Musso selalu memalingkan muka, atau
menyembunyikan wajah di balik koran atau buku.”
Namun di Solo, kedatangan tokoh
sekaliber Musso tak bisa lagi disembunyikan. Sambutan Wikana yang
demikian hangat kepada “Soeparto” membangkitkan kecurigaan.
Pada 12 Agustus, dua hari setelah
kedatangannya, berita pertama soal kepulangan Musso muncul di harian
Merdeka, Solo. Pada berita berjudul “Soeparto al Musso” dijelaskan
bahwa “ada kemungkinan, tokoh kawakan Musso yang sangat terkenal itu
telah kembali”.
Berita kecil itu segera disusul
kabar-kabar selanjutnya di media lain. Dua media prokomunis, Suara
Ibukota dan majalah Revolusioner-keduanya terbit di Yogyakarta-bahkan
mempublikasikan wawancara panjang dengan Musso, selama tiga hari
berturut-turut. Salah satu redaktur koran Suara Ibukota adalah Wikana.
Dalam artikel itu, Musso dengan
panjang-lebar menjelaskan pentingnya pembentukan sebuah pemerintahan
front nasional. “Tujuan tunggal dari mobilisasi seluruh potensi
kekuatan kita dalam sebuah front nasional adalah memerangi pemerintah
kolonial Belanda,” kata Musso, seperti dikutip jurnalis harian Rakjat,
Soerjono, dalam catatannya untuk sejarawan Amerika, Ben Anderson.
Sehari kemudian, Musso menemui Presiden
Sukarno di gedung Agung, Yogyakarta. Mereka berpelukan lama. “Lho, kok
masih awet muda?” tanya Bung Karno sambil tersenyum lebar. Musso
menjawab tangkas, “Oh ya, ini semangat Moskow. Semangat Moskow
selamanya muda.”
Setelah bercakap-cakap panjang, di akhir
pertemuan, Sukarno mengajak Musso membantu meredakan pertikaian
antarkelompok dalam tubuh Republik. Seperti dicatat wartawan
Revolusioner, Soepeno, Presiden berujar takzim, “Saya harap Pak Musso,
setelah kembali ke Tanah Air, bisa membantu menciptakan rust en
orde.” Musso menjawab dalam bahasa Belanda, “Ik kom hier om orde te
scheppen (Saya memang datang ke sini untuk menciptakan ketertiban).”
Meniti Jalan Radikal
DISKUSI tiga tokoh komunis itu
berlangsung alot. Hari itu, pada suatu siang Maret 1948, Paul de
Groot, Musso, dan Soeripno bertemu di Praha, Cekoslovakia. De Groot
merupakan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Belanda. Adapun dua nama
terakhir tokoh komunis Indonesia.
Pertemuan itu dilakukan untuk merumuskan
strategi baru gerakan komunis Indonesia. De Groot, dalam pertemuan
itu, menghendaki Indonesia tetap menganut garis front rakyat yang
lebih kooperatif. Adapun lawan diskusinya tak sependapat. Musso ingin
komunis Indonesia memakai garis perjuangan radikal. Ia menolak gagasan
rekannya dari Belanda itu, yang dinilai terlalu “lembek”.
Diskusi juga melebar ke soal status
hubungan Indonesia-Belanda. De Groot ingin hubungan dua negeri ini
dalam kerangka persemakmuran, sedangkan Musso menginginkan kemerdekaan
sepenuhnya. Jalan tengah akhirnya dicapai. Disepakati Belanda akan
diberi keleluasaan di bidang ekonomi dan kebudayaan.
Pertemuan ini akhirnya merumuskan garis
besar arah pergerakan kaum komunis Indonesia. Ditandatangani wakil
Indonesia, Belanda, dan Cekoslovakia, dokumen itu lantas dikirim ke
Moskow untuk mendapat persetujuan. Haluan baru inilah yang kemudian
dibawa Musso dan Soeripno, yang saat itu menjabat Duta Besar RI di
Cekoslovakia, ke Tanah Air pada Agustus 1948. Menurut Himawan
Soetanto, mantan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata RI, dalam
bukunya Rebut Kembali Madiun, haluan ini dipengaruhi “garis Zhdanov”.
Musso menyempurnakan rumusan ini dalam
perjalanan dari Praha ke Indonesia, yang memakan waktu seminggu.
Rumusan itu ia sebut “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Jalan Baru
inilah yang kelak mengubah politik komunis di Indonesia. “Saya harap
kawan-kawan di Indonesia akan mengerti dan bersedia mengikuti,”
demikian tulis Musso seperti dikutip sejarawan Belanda, Harry Poeze,
dari tulisan Soeripno.
Musso menyebut “Jalan Baru” karena
gagasannya itu berbeda dengan haluan komunis sebelumnya. Sejak 1935,
komunis Indonesia, kata Himawan, menganut garis Dimitrov. Georgi
Dimitrov adalah Sekretaris Jenderal Komunis Internasional. Dimitrov
menganjurkan komunis bekerja sama dengan kaum liberal kapitalis demi
menghadang ancaman fasisme dan Naziisme. Garis Dimitrov bersifat lunak
dan kooperatif.
Komunis Indonesia pun kemudian menempuh
garis lunak: berunding dan berkompromi dengan Belanda, yang
pemerintahannya dikuasai partai kiri. Demikian pula saat menghadapi
penjajahan Jepang yang fasis. Meski bergerak di bawah tanah, kaum
komunis masih bekerja sama dengan Belanda.
Namun, setelah Amerika mulai membendung
laju komunis Eropa lewat Marshall Plan, Uni Soviet mengubah
kebijakannya: bergeser ke garis keras. Garis ini mengadopsi pemikiran
Andrei Alexandrovich Zhdanov, petinggi Partai Komunis Soviet yang
dekat dengan Joseph Stalin. Perubahan haluan ini dideklarasikan oleh
Communist Information Bureau (Cominform) pada September 1947, dan
tahun berikutnya disampaikan dalam Konferensi Pemuda se-Asia Tenggara
di Calcutta, India.
Haluan ini menegaskan, dunia telah
terbelah dalam dua blok: kapitalis imperialis yang dimotori Amerika
Serikat dan blok anti-imperialisme yang dimotori Uni Soviet. Inti
doktrin Zhdanov, menurut Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan, kerja sama dengan kaum imperialis tidak perlu
dilanjutkan dan partai-partai komunis harus mengambil garis keras.
Musso dalam rumusan “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” menyatakan,
“Karena perjuangan Indonesia anti-imperialis, Indonesia satu garis
dengan Rusia.”
Pulang ke Indonesia, Musso, yang saat
itu memakai nama samaran Soeparto untuk mengelabui Belanda,
menghubungi dua koleganya, Maroeto Daroesman dan Setiadjid, untuk
bertukar pikiran. Saat itu dua tokoh komunis ini juga baru kembali
dari Belanda bersama rombongan Menteri Kehakiman Mr Soewandi, yang
baru berunding dengan Belanda.
Musso pertama kali menjabarkan gagasan
Jalan Barunya pada pertemuan Politbiro, 13-14 Agustus 1948, di
Yogyakarta. Dalam pertemuan itu, Musso mengkritik sejumlah kelemahan
dan kesalahan perjalanan organisasi komunis di Indonesia setelah
kepergiannya ke Moskow. “Menurut Musso, revolusi di Indonesia bukan
revolusi proletariat, melainkan revolusi borjuis, sehingga harus ada
front yang dipimpin orang-orang proletariat,” ujar Hersri Setiawan,
penulis Negara Madiun: Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan.
Melalui surat kabar, Musso juga
mengkritik keras kesalahan-kesalahan mendasar revolusi nasional yang
digelorakan Sukarno. Ia mempersoalkan antara lain tidak adanya wakil
kelas buruh dalam pemerintah, sehingga pemerintah tidak bisa
menjalankan politik revolusioner. Demikian juga kekuatan bersenjata.
Menurut dia, angkatan bersenjata seharusnya adalah tentara rakyat yang
benar-benar dibangun dari dan untuk rakyat.
Menakhodai strategi Jalan Baru, langkah
pertama yang dilakukan Musso adalah mengambil alih pimpinan Front
Demokrasi Rakyat dan melebur Partai Komunis, Partai Buruh, dan Partai
Sosialis serta Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi partai
tunggal, Partai Komunis Indonesia. Semua pemimpin organisasi tersebut
oleh Musso diminta bersumpah menentang politik pemerintah.
Sesuai dengan doktrin organisasi, Musso
meminta para pemimpin organisasi melakukan otokritik. Salah satu buah
otokritik itu, belakangan, adalah terungkapnya pengakuan Amir
Sjarifoeddin yang menerima 25 ribu gulden dari Van der Plas, petinggi
Belanda yang juga Gubernur Jawa Timur di era Republik Indonesia
Serikat. Musso juga mengkritik tindakan Amir yang membubarkan
kabinetnya. Menurut Musso, melepaskan sebuah kekuasaan yang telah
berada di tangan merupakan kesalahan besar.
Kebijakan komunis yang juga
dipersalahkan Musso adalah perkembangan partai komunis ilegal yang
dibentuknya pada 1935 untuk melawan fasisme Jepang. Setelah
Proklamasi, di mata Musso, partai ini tidak segera mengubah diri
mengikuti perkembangan politik yang terjadi.
Menurut Musso, adanya tiga partai yang
sama-sama berorientasi pada buruh, yakni “PKI legal”, Partai Buruh
Indonesia (PBI), serta Partai Sosialis yang dikendalikan oleh PKI
ilegal, dan sama-sama berdasarkan Leninisme dan Marxisme, telah
membuat keruwetan organisasi. Ini justru menghalangi perkembangan
organisasi kelas buruh. Lantaran banyak kelemahan itulah Politbiro
memutuskan melakukan perubahan radikal. Tujuannya: mengembalikan
secepatnya PKI sebagai pelopor kelas buruh.
Seakan untuk memamerkan pengaruhnya,
pada 22 Agustus 1948 di Yogyakarta, Musso menggelar rapat raksasa.
Dalam rapat yang dihadiri sekitar 50 ribu orang itu, dia meneriakkan
pentingnya mengganti kabinet presidensial menjadi kabinet front
nasional. Musso juga menyerukan perlunya menggalang kerja sama
internasional untuk meratifikasi hubungan diplomatik secepat mungkin,
terutama dengan Uni Soviet. Hubungan dengan negara itu, menurut dia,
bisa mematahkan blokade Belanda.
Untuk menyebarkan gagasan revolusi Jalan
Barunya, bersama pimpinan PKI, pada September 1948, Musso melakukan
safari ke sejumlah daerah, antara lain Solo, Madiun, Kediri, Jombang,
Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
Di tengah safarinya itulah, pada 18
September, meletus peristiwa Madiun yang kemudian dikenal sebagai
Madiun Affair. Dipimpin Soemarsono, pasukan Brigade 29, yang
didominasi Pesindo, melakukan aksi sepihak. Mereka melucuti pasukan
Brimob dan menyerang pasukan Divisi Siliwangi. Setelah menguasai
Madiun, mereka mendeklarasikan pemerintahan Front Nasional sesuai
dengan anjuran “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” Musso.
Sebulan Bersama Oude Heer
RAPAT Politbiro Partai Komunis
Indonesia, Agustus 1948, adalah panggung pertama bagi Musso setelah 21
tahun menghilang dari Republik. Pada 1927 ia kabur ke Moskow akibat
terlibat pemberontakan PKI 1926 yang dapat dipadamkan Belanda. Pada
1935 ia pernah menyusup ke Surabaya untuk menghidupkan kembali PKI.
Tapi ia tak berhasil.
Sejak itu PKI menjadi partai bawah tanah
yang melawan fasisme secara lunak. PKI tak menggalang massa buruh dan
tani, tapi menyusup ke pemerintah dan organisasi lain. Musso menilai
cara itu tak efektif.
Dalam gagasan barunya, “Jalan Baru untuk
Republik Indonesia”, Musso menganggap PKI tidak mengakar kuat pada
buruh, tani, pemuda, dan tentara. Kader PKI terpecah akibat disusupkan
ke pemerintah atau partai lain. Sosialisasi ideologi partai lembek
karena tidak dilakukan secara terbuka. Sebagai partai bawah tanah PKI
ketika itu lebih banyak berlindung di balik Front Demokrasi Rakyat
(FDR).
Didirikan di Solo pada 26 Februari 1948
sebagai akibat jatuhnya kabinet Amir Sjarifoeddin, FDR menampung
partai dan ormas sayap kiri. Selain PKI ilegal, anggota front itu
adalah Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo), Barisan Tani Indonesia, dan Sentral Organisasi
Buruh Indonesia. Amir sendiri didapuk menjadi Ketua Front.
Menurut sejarawan Belanda, Harry A.
Poeze, FDR dibentuk setelah Amir dan Sutan Sjahrir pecah kongsi dalam
Partai Sosialis. Amir menghendaki partai memihak Soviet dan menentang
kapitalisme pimpinan Amerika Serikat. Sjahrir berpendirian partai
harus menempuh politik luar negeri bebas aktif.
Jatuhnya kabinet Amir memperparah
perseteruan itu. Sjahrir akhirnya keluar dari Partai Sosialis dan
membentuk Partai Sosialis Indonesia. Adapun Partai Sosialis Amir
melebur ke FDR.
Dalam dokumen FDR, “Menginjak Tingkatan
Perjuangan Militer Baru”, disebutkan bahwa aliansi itu dibentuk untuk
menggulingkan kabinet Hatta yang tengah berkuasa. Penggulingan itu
akan dilakukan melalui parlemen, bahkan jika perlu membentuk
pemerintahan baru melalui pemberontakan.
Amir menyambut gagasan Musso. Dalam
rapat Majelis Lengkap FDR, Agustus 1948, ia berujar, “Kedatangan Oude
Heer (Pak Tua) Musso bisa mempercepat proses yang selama ini kita
jalankan.” Dalam bukunya, Madiun dalam Republik ke Republik (2006),
mantan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Himawan
Soetanto menyatakan kembalinya Musso membawa haluan baru yang
menekankan perlawanan terhadap fasisme secara radikal.
Musso tidak mau menyia-nyiakan waktu. Di
panggung rapat Politbiro PKI, ia meminta partai itu bersalin rupa.
Menurut mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat DI Yogyakarta Hersri
Setiawan, di mata Musso PKI ilegal melakukan beberapa kesalahan, di
antaranya partai tidak berani melakukan perjuangan bersenjata dan
lebih memilih politik kompromi. Partai juga dianggap tidak
mengedepankan ideologi komunis. “Musso menuntut gerakan PKI direvisi,”
kata Hersri.
Rapat itu akhirnya memutuskan hanya
perlu satu partai kiri yang legal untuk menyatukan gerakan buruh dan
kaum miskin. Pada rapat FDR, 21 Agustus 1948, Politbiro PKI
mengusulkan agar ketiga partai di FDR melebur menjadi satu dan
menyandang nama Partai Komunis Indonesia.
Dalam korespondensinya dengan ahli
politik Ben Anderson, mantan Ketua Bidang Pertahanan Pesindo Soerjono
menyatakan usulan itu ditolak pemimpin Partai Buruh, seperti Asrarudin
dan S.K. Trimurti. Mereka meminta Front menggelar kongres sebelum
melebur menjadi PKI.
Sejumlah kader partai di FDR memang
meragukan kemampuan Musso, tokoh lama yang tiba-tiba ingin mengambil
alih kepemimpinan partai kiri. Sejumlah kader Pesindo dan Barisan Tani
Indonesia yang semula pro-Sjahrir memilih hengkang. “Kerikil ini
menyebabkan PKI baru tidak solid,” kata sejarawan Rushdy Hussein.
Namun upaya penyatuan itu tak
terhindarkan. Umumnya pemimpin partai kiri mempercayai Musso. Pada
Kongres PKI, 27 Agustus 1948, penyatuan itu disahkan. Awal September
dibentuklah kepengurusan PKI legal dengan Musso sebagai pemimpin.
Kepengurusan itu menandai masuknya PKI ke kancah politik terbuka.
Belum genap sebulan muncul ke permukaan, meletuslah pemberontakan
Madiun yang dilakukan organ PKI pimpinan Musso. Setelah peristiwa itu,
PKI kembali remuk redam.
Suatu Malam di Proklamasi 56
LELAKI yang mengenakan safari warna
gelap itu berjalan sendirian. Suatu hari pada Januari 1948, sekitar
pukul 19.00 WIB, dengan raut wajah kusut dia mendekati beberapa pemuda
yang tengah duduk santai di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan
Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat.
Rumah ini memang menjadi tempat
bersantai para pejabat negara dan aktivis kemerdekaan di malam hari.
Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan sebotol kecil wiski dari
kantong celana, kemudian menenggaknya. Lelaki itu adalah Amir
Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya
“dipaksa” meletakkan jabatan.
“Malam itu kami minum wiski bersama,”
kata Rosihan Anwar mengenang peristiwa itu. Dalam penglihatan wartawan
senior ini, Amir terlihat agak tertekan setelah lengser dari jabatan
perdana menteri. “Meski dia berusaha menutupi dengan tetap terlihat
enjoy,” katanya.
Amir terpaksa melepaskan jabatan perdana
menteri setelah meneken Perjanjian Renville. Tekanan dari lawan
politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala pemerintahan, dia dinilai
bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia setelah
perundingan itu.
l l l
Wajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah
pagi itu, 8 Desember 1947. Di atas kapal USS Renville dia asyik
berbicara tentang Frank Graham, perwakilan Amerika Serikat di Komisi
Tiga Negara. “Mereka rileks sambil masing-masing memegang Injil di
tangan,” kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku
melihat pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika
yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan Renville terjadi atas
desakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus
1947, yang khawatir melihat pertikaian Indonesia-Belanda yang
berlarut-larut. Dalam resolusinya itu, Dewan Keamanan mendesak kedua
negara agar menyelesaikan pertikaian dengan menunjuk tiga negara
sebagai penengah.
Indonesia memilih Australia, Belanda
menunjuk Belgia. Dua negara itu kemudian menunjuk Amerika sebagai
anggota ketiga. Persekutuan ini kemudian dikenal dengan Komisi Tiga
Negara, yang diwakili Frank Graham (Amerika), Richard Kirby
(Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia).
Sebelum berunding, di dalam negeri, Amir
pasang kuda-kuda. Dia merangkul kembali Masyumi agar mau bergabung di
pemerintahan. Tawaran itu diterima tanpa syarat. Pada 11 November
1947, Amir merombak kabinet dengan memberikan lima kursi menteri untuk
Masyumi.
Namun harapan tinggal harapan. Baru saja
perundingan dibuka, delegasi Belanda menolak usul Indonesia untuk
menyelesaikan persoalan politik sebelum membicarakan soal gencatan
senjata.
Tak hanya itu, Belanda juga menolak
tuntutan komisi teknis Indonesia yang diketuai J. Leimena agar tentara
kompeni ditarik kembali hingga batas garis demarkasi yang telah
disepakati bersama 14 Oktober 1946. Sebaliknya, Belanda menuntut batas
demarkasi itu adalah kesepakatan baru pada 28 Agustus 1947, yang
disebut sebagai Garis van Mook. Pembahasan di komisi teknis buntu.
Macetnya pembahasan di komisi teknis
membuat Amir jengkel dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta. “Kapan
saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanya kembali jika
ada sesuatu yang harus dikerjakan,” katanya seperti dikutip Naskah
Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947,
Amir kembali ke Yogyakarta.
Pada saat yang sama, di sejumlah daerah
tentara Belanda terus melakukan aksi militer. Tersiar kabar akan ada
aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap ngotot
menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank
Graham sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan
“Lima Besar RI”, yaitu Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan
Agus Salim. Graham meminta Indonesia tidak meninggalkan meja
perundingan. Tidak memiliki pilihan, Indonesia akhirnya mengalah dan
menerima tuntutan Belanda. Kemudian, 17 Januari 1948, di atas kapal
Renville, Amir meneken persetujuan itu.
Para pemimpin Republik mendukung.
Presiden Sukarno mengatakan, meski Perjanjian Renville seakan-akan
merugikan Indonesia, harus dilihat kemungkinan keuntungan yang bisa
diperoleh. “Kalau bisa mencapai cita-cita dengan jalan damai, kenapa
harus perang,” katanya. Hatta mengatakan perjanjian ini tidak
menjauhkan kita dari cita-cita. Panglima Besar Sudirman juga mengaku
puas atas pencapaian itu.
Di luar dugaan Amir, partai-partai
pendukungnya justru menolak Perjanjian Renville. Sehari setelah
perjanjian itu, sekitar 300 orang yang mengaku sebagai massa Hisbullah
menggelar demonstrasi di depan Istana Yogyakarta. “Kabinet Amir
Bubar. Kami menolak Perjanjian Renville,” demikian kata salah satu
dari mereka. Sumpah-serapah juga diarahkan ke Perdana Menteri, “Amir
pengkhianat.”
Pemimpin Partai Masyumi dan Partai
Nasional Indonesia juga menyalahkan Amir. Mereka mengatakan menarik
dukungan dari pemerintahan dan mengumumkan pengunduran diri para
menteri. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik.
“Sebaiknya serahkan mandat kepada saya,” kata Sukarno.
Amir tidak bisa berbuat banyak. Pada 23
Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno kemudian menyerahkan
tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk kabinet baru.
Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir,
kemudian memutuskan bergabung di kabinet Hatta.
Menurut Soemarsono, anggota Pimpinan
Pusat Pesindo, Amir saat itu merasa seperti terjebak dalam sebuah
permainan politik. “Aduh, begini permainan komplotan ini,” katanya
mengutip keluhan Amir.
Kepedihan Amir tak berujung di situ. Di
kalangan kelompok kiri, dia juga disalahkan, dinilai terlalu lemah dan
mau begitu saja menyerahkan tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri.
Menurut Soemarsono, sebuah rapat mendadak digelar kelompok kiri untuk
mengadili Amir. “Semua yang hadir menyalahkan dia karena mau mundur
begitu saja,” katanya.
Pemimpin Partai Komunis Indonesia,
Musso, dalam dokumennya, Jalan Baru untuk Republik Indonesia, juga
menyerang ketidakberdayaan Amir. Menurut dia, kaum komunis saat itu
melupakan ajaran Lenin yang menyatakan pokok dari revolusi adalah
kekuasaan negara. “Mundurnya Amir memberi jalan elemen borjuis
memegang kendali pemerintah,” katanya.
Semua ini berlangsung cepat: Amir
mendapati dirinya sekonyong-konyong jadi musuh bersama. Tak
mengherankan malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai
larut dengan minum wiski dan bernyanyi. Menurut Rosihan, pertemuan
malam itu adalah terakhir kali dia bersua dengan Amir. “Setelah itu,
saya hanya mendengar dia pergi ke Solo membentuk Front Demokrasi
Rakyat,” katanya. “Sampai akhirnya ditembak mati.”
Mitos Amerika di Kaki Lawu
DI ketinggian seribu dua ratus meter,
telaga itu membentang. Airnya tenang, dengan kedalaman hampir tiga
puluh meter. Hawa sejuk senantiasa merapat di sekitarnya. Gunung Lawu
yang menjulang kukuh terlihat menancapkan kakinya. Keindahan
panoramanya membuat wisatawan rajin berlabuh di Sarangan, Kabupaten
Magetan, Jawa Timur. Seperti memenuhi hasrat turis, banyak hotel dan
vila mengitari telaga seluas tiga puluh hektare ini.
Dulu pun orang-orang Belanda membangun
rumah dan hotel di kawasan Sarangan. Tapi, pada saat Agresi Militer
Belanda Kedua, akhir 1948, tentara Republik membakar bangunan-bangunan
itu. Sebagian sisa bangunannya masih terlihat hingga kini.
Di sini pula, tersimpan rumor tentang
pertemuan pemerintah Amerika dengan pemerintah Indonesia. Satu
pertemuan yang oleh pihak komunis diduga ikut mempengaruhi
penyingkiran orang-orang kiri oleh Kabinet Hatta dalam Peristiwa
Madiun pada September 1948.
l l l
Tuduhan keterlibatan Amerika di Madiun
pada 1948 muncul setelah peristiwa itu sendiri. Adalah Paul de Groot,
pemimpin komunis di Belanda, seperti ditulis ahli Asia Tenggara dari
Universitas Cornell, Ann Swift, dalam disertasinya berjudul The Road
to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948, yang membuka
teori provokasi Peristiwa Madiun oleh Amerika.
Di hadapan parlemen Belanda, sebulan
setelah Peristiwa Madiun, De Groot menuduh Charlton Ogburn, penasihat
politik delegasi Amerika dalam Komite Jasa Baik untuk Indonesia di
Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertemu dengan Sukarno dan Hatta di
Sarangan, tiga bulan sebelum Peristiwa Madiun meletus. Dalam pertemuan
ini, Amerika menjanjikan pengiriman senjata dan penasihat teknis jika
pemerintah Indonesia mau menyingkirkan komunis. Tuduhan ini langsung
dibantah oleh Menteri Penerangan Mohammad Natsir.
Belakangan, tuduhan De Groot ini
diadopsi oleh komunis Rusia pada Januari 1949. Tiga tahun setelah
Peristiwa Madiun, wartawan Prancis, Roger Vailland, juga menuliskan
pertemuan itu dalam Boroboudour, Voyage � Bali, Java et autres Iles.
Versi Roger ini ditelan oleh majalah Bintang Merah milik PKI.
Berdasarkan tulisan Roger, pertemuan
Sarangan digelar pada 21 Juli. Indonesia diwakili Presiden Sukarno,
Perdana Menteri Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Mohammad Natsir,
Menteri Dalam Negeri Soekiman Wirjosandjojo, Mohamad Roem, dan Kepala
Kepolisian Soekanto. Dari pihak Amerika, hadir Duta Besar Merle
Cochran dan penasihat Presiden Harry Truman, Gerard Hopkins.
Pertemuan ini disebut menghasilkan Red
Drive Proposal. Salah satu isinya, Amerika memberikan US$ 56 juta
untuk menghancurkan PKI. Bintang Merah juga menyebutkan Kabinet Hatta
menggunakan Rp 3 juta untuk menyogok Dokter Muwardi, pemimpin Gerakan
Revolusi Rakyat, untuk membuat insiden Solo yang kemudian memunculkan
Peristiwa Madiun.
Mantan Gubernur Militer Pemerintah Front
Nasional Daerah Madiun Soemarsono meyakini adanya Red Drive Proposal.
Soemarsono mengaku mendengar dari mantan perdana menteri Amir
Sjarifoeddin-yang digantikan Hatta setelah Perundingan Renville-soal
pertemuan itu. Amir mengatakan adiknya saat pertemuan itu menyaksikan
siapa saja yang hadir. Sukarno saat itu hanya diam. Sedangkan Hatta
menyetujui tawaran Amerika. “Yang banyak bicara Hatta, Soekiman, dan
Roem,” katanya.
Menurut Soemarsono, seperti tertulis
dalam buku Revolusi Agustus, saat itu PKI memang menghadapi gerakan
antikomunis dari sejumlah pihak. Partai Nasional Indonesia dan
Masyumi, misalnya, semula mendukung Amir Sjarifoeddin yang memimpin
delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville. Tak lama setelah
perundingan itu, PNI dan Masyumi berbalik menentang hasil Perundingan
Renville-yang akhirnya menjatuhkan Amir dari jabatannya. Belakangan,
kabinet Hatta yang melaksanakan Perundingan Renville justru
menyertakan orang-orang PNI dan Masyumi.
Inilah yang membuat PKI yakin,
penyingkiran orang-orang kiri sudah direncanakan setelah Perundingan
Renville. Soemarsono tak heran, Hatta yang sering berseberangan dengan
PKI, dan Menteri Dalam Negeri Soekiman yang tokoh Masyumi, menyetujui
pemberangusan kaum kiri pada saat pertemuan Sarangan. Kondisi ini
sejalan dengan niat Amerika membendung komunis di berbagai belahan
dunia. Di sisi lain, Sukarno menginginkan pengakuan kedaulatan dari
negara Barat. “Bung Karno waktu itu berpihak pada Hatta,” kata
Soemarsono.
Banyak pihak meragukan adanya pertemuan
Sarangan. Hersri Setiawan, mantan tahanan politik di Pulau Buru yang
pernah mewawancarai Soemarsono, mengatakan pernah mencoba menelusuri
dokumen pertemuan itu. Tapi nyatanya tak ada satu pun dokumen kuat
yang mampu menjelaskan pertemuan dan Red Drive Proposal. “Saya
menyimpulkan (proposal) itu mengada-ada,” katanya.
Sejarawan Rushdy Hussein menilai gejala
keterlibatan Amerika memang ada. Misalnya, setelah Perundingan
Renville, Amerika yang tadinya mendukung Belanda berbalik arah ke
Indonesia. Selain itu, pihak komunis menganggap Kepala Kepolisian
Soekanto merupakan binaan Amerika karena pada 1948 menjalani pelatihan
di sana. “Tapi semua itu hanya gejala psikologis. Kaitannya tidak
langsung. Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai mitos,” ujar
Rushdy.
Ann Swift malah menunjukkan kelemahan
mendasar versi PKI yang menganggap pertemuan dilakukan pada 21 Juli
1948. Padahal, “Merle Cochran baru tiba di Indonesia pada 9 Agustus
1948,” tulis Swift.
Toh, Swift menunjukkan Cochran membujuk
Sukarno dan Hatta agar mengeliminasi komunis dari Indonesia, seperti
tertulis dalam dokumen milik kantor Hubungan Luar Negeri Departemen
Pertahanan Amerika. Dokumen itu menyebutkan, Cochran rajin menemui
Presiden dan Perdana Menteri. Ia khawatir, komunis akan menjatuhkan
kabinet Hatta. Sebagai imbalan menumpas komunis, Amerika akan
mengupayakan kesepakatan dengan Belanda yang lebih bisa diterima,
meski sebelumnya Amerika lebih berpihak kepada Belanda untuk melawan
blok Soviet di Eropa melalui bantuan Marshall Plan. Indonesia pun
memanfaatkan ketakutan Amerika sebagai tekanan mengupayakan
kesepakatan dengan Belanda.
Swift menilai peran Cochran yang memang
antikomunis sangat besar dalam membujuk pelenyapan kaum Marxis. Meski
menyarankan Hatta segera mengambil tindakan militer kepada komunis,
Cochran tak terlihat menawarkan bantuan senjata.
Menurut Swift, pada 6 September, seorang
pejabat tinggi Indonesia, diduga dari Masyumi, mengirim telegram ke
Konsul Jenderal Amerika di Jakarta. Isinya, Hatta telah menyiapkan
aksi tanpa kompromi terhadap komunis. Tapi Hatta membutuhkan bantuan
untuk mengatasi kesulitan yang mungkin muncul.
Belanda sempat menawarkan bantuan tapi
ditolak. Saat itu Amerika hanya menjawab upaya terbaik dari Hatta akan
menjadi pintu kesepakatan dengan Belanda. Jika kesepakatan itu
terjadi, Amerika akan membantu perekonomian Indonesia. Belakangan,
saat berbicara dengan Cochran�setelah Peristiwa Madiun, Hatta sendiri
mengatakan membutuhkan peralatan persenjataan kepolisian. Tapi Cochran
menjawab bantuan ekonomi tersedia begitu federasi Indonesia tercipta.
Entah ada entah tiada bantuan dari
Amerika, yang jelas, penumpasan PKI di Madiun akhirnya terlaksana.
Pada 1 Oktober 1948, Konsulat Amerika menyatakan Peristiwa Madiun
sebagai “kekalahan pertama komunis”.
l l l
Di Hotel Huisje Hansje, Red Drive
Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika kepada pemerintah Indonesia.
Tapi pengurus Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia serta warga
setempat tak tahu persis lokasi hotel itu. Bung Karno memang pernah ke
Sarangan sebelum Peristiwa Madiun. Saat itu ia membawa istrinya,
Fatmawati, dan kedua anaknya, Megawati Soekarnoputri dan Guntur
Soekarnoputra. “Tapi menginapnya di Hotel Merdeka,” kata bekas
karyawan Hotel Merdeka, Sukarno.
Sejarawan Rushdy Hussein pernah mencari
Hotel Huisje Hansje. Tapi tak ada petunjuk apa pun yang ditemukannya.
Rushdy menduga, hotel itu ikut dibakar pada saat Agresi Militer
Belanda Kedua. Huisje Hansje seperti lenyap membawa mitos bernama Red
Drive Proposal.
Laga Pengalih Sebelum Madiun
BAKDA isya, Kolonel Sutarto sampai di
depan rumah ibunya di Kampung Timuran Solo. Malam itu, 2 Juli 1948,
komandan Pasukan Panembahan Senopati (KPPS) ini bergegas pulang begitu
menerima kabar ibunya sakit keras.
Begitu paniknya, Sutarto jadi tak awas
terhadap sekitarnya. Turun dari jip yang membawanya dari markas, bekas
Shodancho Daidan Peta di Wonogiri itu disambut tembakan dari
kegelapan. Dor… dor…. Sutarto ambruk. Dua peluru menembus belakang
tubuhnya. Ia tewas bersimbah darah.
Insiden itu memicu beragam kecurigaan.
Selain pelakunya tak tertangkap, korbannya adalah panglima sebuah
kesatuan tempur paling besar dan berpengaruh di wilayah Surakarta.
Belakangan muncullah desas-desus. Di
lingkungan prajurit Senopati beredar kabar, Sutarto ditembak anggota
pasukan Siliwangi, anak buah Letnan Kolonel Sadikin. “Karenanya,
anggota pasukan Senopati diperintah mencari tahu,” kata Mayor Slamet
Rijadi dalam buku biografinya, Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas
RMS.
Muncul spekulasi baru. Sutarto sengaja
ditembak karena dianggap melawan Program Reorganisasi dan
Rasionalisasi Tentara yang digulirkan kabinet Hatta. Sutarto
menganggap program ini tak transparan dan mengancam posisi pasukannya.
Front Demokrasi Rakyat/PKI yakin
pembunuhan Sutarto adalah teror politik gaya Hatta. “Ini rasionalisasi
dalam bentuk lain. Kami yakin Hatta sendiri yang langsung turun
tangan karena dia Menteri Pertahanan saat itu,” kata Soemarsono,
mantan Gubernur Militer Pemerintahan Front Nasional Daerah Madiun.
Spekulasi ini menguat karena insiden
penembakan Sutarto terjadi selang 40 hari setelah ia memimpin parade
pasukan di Solo, 20 Mei 1948. Di depan Presiden Sukarno dan Panglima
Besar Sudirman, Sutarto menggelar lima resimen tempurnya, termasuk
enam resimen laskar rakyat, seperti pasukan Pemuda Sosialis Indonesia
(Pesindo) dan Tentara Laut Republik Indonesia, yang dikenal kiri.
Belakangan, Divisi IV Panembahan
Senopati batal dilikuidasi. Menanggapi aksi penolakan itu, Panglima
Sudirman menjadikan pasukan Sutarto sebagai pasukan komando khusus.
l l l
Program kabinet Hatta so-al Reorganisasi
dan Rasionalisasi (Re-Ra) Tentara yang ditentang Sutarto menyorongkan
konsep penataan postur angkatan perang yang lebih ramping dan
efisien. Hatta beralasan, kocek negara yang mepet dan wilayah
Indonesia yang kian menciut akibat Perjanjian Renville menjadi
pertimbangan Re-Ra. Hatta, seperti dikutip dalam otobiografinya,
merujuk setidaknya ada 350 ribu tentara plus 400 ribu anggota laskar
yang kudu diciutkan menjadi 160 ribu hingga 57 ribu prajurit reguler.
Perampingan itu dimulai dengan penataan
struktur garis dan wilayah komando. Besaran divisi dan kesatuan
komando teritori juga diciutkan. Jawa, misalnya, dari tujuh divisi
menjadi empat divisi. “Semuanya disesuaikan dengan fungsi pertahanan
menghadapi agresi Belanda,” kata Nasution dalam Tentara Nasional
Indonesia.
Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya,
Madiun, dari Republik ke Republik, Program Re-Ra justru bermasalah
saat diberlakukan di lapangan. Misalnya friksi akibat audit personel
sesuai dengan kepangkatan dan tingkat pendidikan antara perwira eks
Peta dan eks KNIL. Eks Peta, misalnya, turun sampai dua tingkat (dari
letnan satu menjadi pembantu letnan satu). Adapun perwira eks KNIL
naik pangkat dua tingkat.
Menurut Soemarsono, sejatinya FDR/PKI
adalah kelompok yang paling dirugikan dengan Re-Ra. Barisan laskar
yang dibangun FDR, seperti Pesindo, biro perjuangan, perwira politik,
dan TNI Masyarakat, akan dilikuidasi karena dianggap bukan TNI.
“Sebenarnya kamilah sasaran tembak utama kabinet Hatta,” kata
Soemarsono dalam bukunya, Revolusi Agustus.
Soemarsono sendiri dipecat dari
Pendidikan Politik Tentara pada awal Mei 1948. Pangkat terakhirnya
mayor jenderal. Pada bulan yang sama, dipecat pula Wikana, eks
Gubernur Militer Surakarta. Wikana adalah tokoh FDR dan Pesindo.
Menyusul kemudian pembubaran TNI Masyarakat yang dirintis Joko Suyono
dan Sakirman.
Menurut Himawan, FDR berang karena
penataan sistem komando TNI bisa menghancurkan upaya FDR membangun
kekuatan sejak 1945. Setidaknya 35 persen dari TNI pada masa itu sudah
dipengaruhi “kelompok kiri”. Beberapa di antaranya bahkan panglima
kesatuan tempur. “Wajar kalau penolakan para perwira terhadap Re-Ra
kemudian dimanfaatkan tokoh-tokoh kiri,” kata Himawan.
Himawan merujuk sikap keras Divisi VI
Narotama, Jawa Timur, dan Divisi IV Panembahan Senopati. Sutarto
sendiri dicap “kiri ” karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Front
Demokrasi Rakyat/PKI.
Menurut Himawan, sebenarnya ada faktor
lain yang mendorong penolakan perwira daerah terhadap Re-Ra, yakni
sentimen atas perlakuan istimewa Hatta terhadap kesatuan
Siliwangi-setelah pasukan Siliwangi terpaksa hijrah ke Surakarta,
pasca-Renville, dan Hatta kemudian mempromosikan eks Panglima
Siliwangi Kolonel A.H. Nasution sebagai wakil Panglima Sudirman. Sosok
Nasution dianggap menjadi ancaman terhadap wibawa Sudirman sebagai
panutan mereka.
Sebagai kota terbesar kedua di Republik
setelah Yogyakarta, Solo pada 1948 sudah padat dengan aneka pendatang
dan pengungsi, antara lain Brigade II Siliwangi pimpinan Sadikin. Buat
pasukan setempat, kehadiran Siliwangi dianggap sebagai “intruders”
atau orang-orang asing yang mengganggu rumah tangga mereka.
Kontak senjata terbuka antara KPPS dan
Siliwangi bisa dicegah berkat langkah bijak Komandan Komando Militer
Kota Solo Mayor Achmadi. Belakangan terbukti Sutarto dibunuh Pirono
atas suruhan tokoh PKI, Alimin.
Ketegangan makin memuncak ketika perwira
ALRI-Gajah Mada yang juga tokoh FDR, Mayor Esmara Sugeng, dan enam
perwira KPPS lainnya “dibawa” ke Siliwangi. Para perwira itu
dikabarkan ditawan di asrama kompi Siliwangi yang dipimpin Kapten
Oking di Srambatan, tak jauh dari Stasiun Balapan.
Puncaknya pada 13 September 1948. Markas
Siliwangi diserbu pasukan Senopati. Pertempuran berlangsung sengit
dan jatuh korban. Letkol Soedi, Panglima KPPS, melaporkan insiden
penculikan para perwiranya ke Panglima Sudirman. Ia juga mengultimatum
agar perwira yang diculik dibebaskan sebelum pukul 12.00 WIB.
Ketegangan itu membuat Sudirman turun
tangan. Namun sejumlah perundingan yang digelar tak banyak
menyelesaikan masalah. Letnan Kolonel Sadikin tetap emoh melepas para
perwira KPPS dengan alasan tidak tahu ada penculikan-meski belakangan
akhirnya enam perwira itu diketahui ditahan di penjara Wirogunan,
Yogya.
Gencatan senjata yang digariskan
Sudirman dalam perundingan di Balai Kota Solo toh tak ditaati. Esok
harinya, 16 September, giliran Markas Pesindo di Jalan Singosaren
diserbu. Selain pasukan Siliwangi, ikut juga Barisan Banteng dan GRR.
Ketegangan menjalar ke seluruh penjuru Solo.
Sudirman akhirnya mengeluarkan keputusan
harian yang intinya peristiwa di Surakarta menyinggung kedaulatan
Angkatan Perang. Karena itu, komandan kesatuan diminta bertanggung
jawab. Sudirman juga menyampaikan, pucuk pimpinan negara telah sepakat
akan melakukan tindakan tegas di daerah mana pun yang terancam
bahaya.
Presiden Sukarno menunjuk Kolonel Gatot
Subroto sebagai gubernur militer. Keputusan itu, menurut Nasution,
diambil bersama Sudirman. Mereka bertiga akhirnya bertemu dengan
Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta sekitar pukul 23.00 WIB.
Di Solo, 18 September 1948, Gubernur
Militer Solo Gatot Subroto meminta aksi tembak dihentikan. Gatot juga
menyatakan batalion Ahmad Jadau, Soejoto, dan Dahlan dinyatakan liar.
Clash antarkesatuan di Solo ternyata
dipantau penuh oleh Belanda. Pusat Dinas Intelijen Militer Belanda,
Centrale Militaire Inlichtingen Dienst, pada 23 September 1948,
seperti dikutip Himawan, menyebut Solo memang akan dijadikan “Wild
West” oleh kelompok Musso sebagai pengalih perhatian dari gerakan yang
terjadi di Madiun.
Disebutkan pula, sesungguhnya pertikaian
bersenjata itu adalah antara dua pasukan yang sama-sama berhaluan
komunis, yaitu Divisi IV Panembahan Senopati-di bawah pengaruh Alimin,
Musso, dan Amir Sjarifoeddin-dan Satuan Divisi Siliwangi di bawah
pengaruh pemimpin komunis seperti Tan Malaka dan Dr Muwardi.
Infiltrasi ke Siliwangi, kata dokumen
itu, dilakukan sejak 1947 oleh satuan eks Brigade Tjitarum, pasukan
Tan Malaka. “Mereka sama-sama mau merebut kekuasaan komunis, tapi beda
kiblat,” kata sejarawan Rushdy Hussein.
Karena itu, menurut sejarawan dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, pertempuran ala
“koboi” di Solo seperti lingkaran. “Hanya berputar-putar antara Musso
dan Tan Malaka. Dua-duanya siap meledak.”
Setelah Pistol Menyalak Tiga Kali
KENDATI sudah bertahun-tahun tinggal di
Belanda, Nugroho, 85 tahun, masih mengingat rumah besar yang berada
paling dekat dengan jalan raya di kompleks Pabrik Gula Rejoagung di
Madiun, Jawa Timur. Ia bercerita, 62 tahun lalu kompleks pabrik itu
menjadi markas Badan Kongres Pemuda.
Nugroho bekerja di bagian penerangan
badan itu. Ia ingat saat itu Rejoagung di bawah kendali Soemarsono
yang ditugasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi Ketua Badan
Kongres Pemuda Madiun.
Rumah itu pula yang pada pekan ketiga
September 1948 berkali-kali didatangi orang berseragam militer. Tamu
yang datang itu adalah orang-orang bekas Laskar Pemuda Sosialis yang
masuk jadi tentara di Brigade 29.
Soemarsono memang sudah tak lagi
bertugas di militer sejak dipecat Perdana Menteri Mohammad Hatta dari
Pendidikan Politik Tentara. Oleh Hatta bintang dua di pundaknya juga
dilucuti. Tapi ia masih punya pengaruh karena merupakan salah satu
pentolan Pesindo.
Saban kali bekas anak buahnya datang,
yang dibawa adalah kabar-kabar buruk. “Mereka melaporkan ada pasukan
dengan badge tengkorak berlatih menembak dekat markas mereka,” kata
Soemarsono.
Lain waktu mereka melaporkan hilangnya
tiga pemimpin pemogokan Serikat Buruh Daerah Autonom. Penculiknya
ditengarai pasukan tengkorak tadi. Kelompok bersenjata yang sama juga
dituding menembak anggota Serikat Buruh Kereta Api.
Nugroho, tukang gambar poster Badan
Kongres Pemuda, bercerita saat itu situasi Madiun memang panas. “Ada
tentara, ada laskar macam-macam, dan mereka sering bentrok,” ujarnya.
Yang paling mencolok, kata dia, adalah kelompok bersenjata dengan logo
tengkorak di seragamnya.
Rentetan masalah itu mengingatkan
Soemarsono akan cerita tiga perwira-Letnan Kolonel Suwardi, Komandan
Angkatan Laut Solo Letnan Kolonel Achmad Jadau, dan Letnan Kolonel
Slamet Rijadi yang datang dari Solo, Jawa Tengah. Ketiga perwira ini
menceritakan soal penembakan dan penangkapan orang-orang kiri di
daerah mereka.
Soemarsono yakin hanya dalam hitungan
hari masalah di Solo bakal sampai ke Madiun. Apalagi intelijennya di
Polisi Militer dan Brigade Mobil bercerita ada instruksi dari
pemerintah Mohammad Hatta untuk menangkap dirinya. Bahkan Brigade 29
juga akan dilucuti oleh Brigade Mobil Polisi.
Ia makin yakin saat didatangi kawan
lamanya, Kolonel Moestopo, yang menyampaikan kabar senada. Moestopo,
yang saat itu sudah bergabung dengan p asukan Siliwangi, bahkan
mengatakan ia diperintahkan untuk menangkap Soemarsono. “Tangkap saja.
Tapi apa mungkin menangkap saya tanpa saya melawan!” Soemarsono balik
menghardik.
Pada 16 September, Soemarsono menerima
telepon dari Kediri. Di ujung sambungan terdengar suara Panglima
Divisi Brawijaya Kolonel Sungkono. Bekas tetangga Soemarsono saat
tinggal di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur, itu mengajak bicara tentang
ulah pasukan Siliwangi.
“Sudah, Cak, serang saja mereka. Masak
sampean dari Surabaya bisa dihantam-hantam begitu?” kata Soemarsono
menirukan ucapan Sungkono. “Hadapi saja Siliwangi itu, kami sepenuhnya
di belakang Madiun.”
Digosok Sungkono, Soemarsono semakin
panas. Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Rebut Kembali Madiun,
Brigade 29 memiliki kekuatan sekitar lima batalion. Mantan Panglima
Daerah Militer Siliwangi ini menjelaskan, pasukan yang dipimpin
Kolonel Dachlan tersebut sudah bersiaga di seputar Madiun, yakni di
Ponorogo, Ngawi, Magetan, Pacitan, sampai ke lereng-lereng Gunung
Wilis di Kediri.
Di lain pihak, pada awal September
kelompok-kelompok di sekitar Madiun yang berpotensi menjadi lawan
Soemarsono sudah diberangus. Itu yang dialami Pesantren Takeran di
Magetan yang enggan mendukung gerakan kiri di sana. Satu per satu
pemimpin pondok dijemput dan tak pernah kembali.
Madiun sendiri jadi basis massa yang
solid buat gerakan ini karena kota itu punya bengkel kereta api dan
banyak pabrik gula. “Mereka dapat dukungan dari buruh pabrik dan
serikat buruh kereta api,” kata mantan Tentara Republik Indonesia
Pelajar di Madiun, Yusuf Musdi.
Merasa di atas angin, Soemarsono pada 16
September berangkat meminta restu kepada Musso dan Amir Sjarifoeddin
di Kediri. Ia bercerita tentang kondisi Madiun dan kekhawatiran adanya
penculikan terhadap komandan tentara yang berpihak ke Front Demokrasi
Rakyat-organisasi yang menghimpun kelompok kiri, termasuk PKI.
Kepada Soemarsono, Musso bertanya
tentang perimbangan kekuatan. “Tidak usah khawatir, saya kenal pasukan
saya,” jawab Soemarsono. Kalau begitu bertindak saja, lucuti pasukan
itu,” kata Musso lagi. Amir menimpali, “Bertindak saja, sebelum mereka
bertindak.” Pertemuan larut malam itu berakhir. Soemarsono pamit dan
Musso merangkulnya. “Saya bertindak itu atas perintah Musso,” ujarnya
belakangan.
Namun peneliti sejarah dari Universitas
Cornell, Ann Swift, meragukan klaim tersebut. Menurut dia, petinggi
Front Demokrasi baru tahu setelah pelucutan selesai. Swift merujuk
pada berita Madjallah Merdeka terbitan 30 September 1948, yang
menyebut para aktivis Front yang kemudian tertangkap mengaku tak
tahu-menahu rencana Soemarsono yang disebut “agak terburu-buru” itu.
Himawan Soetanto sependapat dengan
Swift. Himawan melihat petinggi Front belum menghendaki gerakan
bersenjata. Buktinya, kata dia, saat Peristiwa Madiun pecah, Musso dan
Amir justru sedang bersafari di kota-kota lain buat menggalang
dukungan.
Himawan yang ikut operasi Siliwangi
menyerang Madiun juga menilai perhitungan Soemarsono meleset.
Pasukan-pasukan yang dianggap bakal memberikan dukungan malah berbalik
menggempur Soemarsono, termasuk Kolonel Sungkono.
l l l
Pada 17 September malam, suasana Pabrik
Gula Rejoagung mencekam. Nugroho yang tinggal di Asrama Rejoagung
diberi tahu malam itu akan terjadi sesuatu. “Kami diminta tenang dan
jangan keluar,” katanya.
Lewat tengah malam terdengar letusan
pistol. Tar, tar, tar! Tiga kali tembakan di pagi buta itu menandai
bergeraknya serdadu Brigade 29.
Soemarsono, yang mengendalikan pasukan
dari Rejoagung, mengirim pasukan merangsek ke tiga titik di Madiun:
markas Polisi Tentara Republik Indonesia, markas Brigade Mobil Polisi,
dan basis “pasukan tengkorak” di Maospati, daerah perbatasan dengan
Magetan. “Saya putuskan menyerang duluan,” kata Soemarsono. “Bisa
repot kalau saya harus menghadapi tiga pasukan itu sekaligus.”
Kalah dalam jumlah, lawan di markas
Polisi Militer dan “pasukan tengkorak” dengan cepat ditekuk pasukan
Soemarsono. Namun di markas polisi yang tak jauh dari Rejoagung
terjadi perlawanan sengit. Menurut Nugroho, kontak senjata di markas
polisi itu terdengar sampai asramanya di Rejoagung. “Suara tembakan
baru berhenti sekitar pukul empat pagi,” ujarnya.
Nugroho bercerita, semua aktivis Badan
Kongres baru berani keluar asrama saat hari sudah terang dan melihat
barisan panjang polisi digiring pasukan Soemarsono. “Panjang sekali,
saya lihat ada yang belum berpakaian,” ucapnya. “Semua digiring entah
ke mana.”
Penyerangan rupanya meluas sampai ke
tapal batas kota. Kantor polisi Gorang Gareng di perbatasan Madiun dan
Magetan juga jadi sasaran. Sempat melawan, polisi akhirnya menyerah
karena kehabisan peluru.
Enam jam setelah pistol menyalak di
Rejoagung, Brigade 29 sukses memukul lawan-lawannya. Madiun dan
sekitarnya dikuasai penuh pasukan Front Demokrasi Rakyat.
Menurut Soemarsono, cuma dua anak
buahnya yang tewas. Saat pemakaman mereka, Soemarsono berseru lantang,
“Van Madiun begint de victorie!” Dari Madiun kemenangan dimulai.
Kami Tidak Memberontak
KINI dia 89 tahun. Tapi ia bicara dengan
tegas, jelas, sesekali meledak-ledak. Ingatannya terjaga baik, ia
bercerita dengan runtut dan mendetail. Keriput di wajah, tubuhnya yang
terlihat ringkih, tak kuasa menghalanginya bicara panjang lebar
tentang sejarah pergerakan Indonesia. Ia menilai telah terjadi
pemutarbalikan sejarah, dan itu tak adil baginya.
Soemarsono, mantan Ketua Badan Kongres
Pemuda Republik Indonesia, juga bekas pemimpin Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo), menganggap Peristiwa Madiun adalah bagian penting
dari sejarah hidupnya.
Dia berperan penting mengkoordinasi
gerak cepat empat batalion Brigade 29, pasukan ABRI yang pro-Partai
Komunis Indonesia, pada dinihari 18 September 1948. Dalam beberapa
jam, Soemarsono dan pasukannya melucuti pasukan Siliwangi, Brimob, dan
polisi militer di barak-barak mereka sendiri.
Sebagian besar anggota Brigade 29 memang
eks anggota Pesindo. Soemarsono bersama pasukan ini bertarung
hidup-mati mempertahankan Surabaya dari serangan Inggris, pada 10
November 1945. “Meski bukan komandan di pasukan itu, pengaruh saya
besar,” kata Marsono, begitu dia biasa disapa, sambil tertawa.
Ditemui dua kali pada September lalu di
rumah putrinya di Jakarta, Soemarsono, yang kini bermukim di Sydney,
Australia, menceritakan kembali apa yang terjadi di Madiun dan
sekitarnya pada akhir 1948. Ia tetap keras menolak peristiwa itu
disebut sebagai pemberontakan.
Banyak yang menyebut Peristiwa Madiun 1948 merupakan pemberontakan PKI.
Saya menolak istilah pemberontakan untuk menyebut peristiwa yang terjadi di Madiun itu. Kami tidak berinisiatif untuk terlibat dalam bentrokan. Kami hanya membela diri.
Semua berawal dari pemogokan serikat buruh dalam negeri di Madiun pada awal September 1948. Mereka menuntut kenaikan upah dan berunjuk rasa di depan di kantor wali kota. Setelah mogok sehari, tiga orang pemimpin serikat itu hilang, diculik tentara.
Reaksi Anda?
Saya tentu bertanya kepada komandan teritorial Tentara Nasional Indonesia di Madiun, Letkol Sumantri. Dia mengaku tidak tahu siapa yang menculik. Lho kok bisa, padahal kami mendapat informasi dari anak-anak Brigade 29 bahwa ketiga aktivis buruh itu ditahan di markas Siliwangi. Saya berkesimpulan, para penculik adalah tentara gelap yang tidak melapor saat masuk Madiun. Kami putuskan bergerak untuk membebaskan pemimpin buruh yang diculik.
Apa yang kemudian terjadi?
Saya akan ditangkap. Dokter Moestopo, kawan seperjuangan saya dari Surabaya, datang menemui saya di Pabrik Gula Rejoagung. Dia kolonel pasukan Siliwangi. Begitu bertemu, dia memeluk saya dan menangis. Saya bertanya, ada apa. Dia mengaku mendapat perintah untuk menangkap saya. Tentu saya marah. Saya berkata padanya, tangkap saja, tapi apa mungkin menangkap saya tanpa ada perlawanan.
Lalu?
Setelah itu, datanglah Kepala Korps Polisi Militer Madiun, Kapten Sunardi, ke tempat saya. Dia juga memberikan informasi bahwa saya akan ditangkap. Saya bertanya: soal apa. “Bung dianggap melawan pemerintah,” kata Sunardi. Staf intelijen Pesindo menyampaikan kabar serupa. Sejak itu saya lebih berhati-hati.
Anda merasa diteror?
Suatu hari, seseorang menembak saya di pekarangan rumah. Tapi tembakannya meleset, dan peluru kena pohon. Sejak itu, saya bersiap-siap. Pasti ada yang menteror. Saya siapkan pistol di mobil, meskipun saya pergi ke mana saja tanpa sopir. Mobil saya waktu itu Chevrolet tahun 1942.
Suasana Madiun saat itu?
Banyak informasi akan ada teror atas orang-orang kiri. Semua resah. Apalagi di Solo sudah ada pertempuran. Kami mendengar kabar, pasukan Brimob dan polisi militer akan melucuti Brigade 29. Kami tidak bisa tinggal diam.
Mengapa Anda merasa terdesak? Bukankah Madiun ketika itu basis PKI?
Sebenarnya keresahan sudah dimulai saat kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh. Kabinet Hatta membuat kebijakan baru, yaitu rasionalisasi tentara. Semua laskar, yang kebanyakan anggotanya PKI, akan dikeluarkan dari militer. Kami, yang tidak pernah bersekolah formal, tidak akan pernah menjadi perwira. Pendidikan tentara Divisi Senopati, misalnya, paling tinggi ongko loro (kelas dua SD). Kami semua akan diganti dengan tentara sekolahan. Siliwangi yang akan paling diuntungkan.
Anda menuding Hatta ikut melakukan provokasi sampai terjadi Peristiwa Madiun?
Hatta jelas melakukan provokasi. Dia yakin, jika masih ada orang PKI di aparatur pemerintah, Barat tidak akan mengakui kemerdekaan Indonesia. Dia juga membebaskan Tan Malaka. Padahal semua orang tahu Tan Malaka musuh orang-orang PKI.
Jadi, Anda yakin akan adanya Red Drive Proposal?
Itu jelas. Proposal itu terkait dengan proses pengakuan de jure masyarakat internasional atas Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat meminta agar orang-orang kiri di pemerintahan disingkirkan dulu. Jika itu dilakukan, baru Indonesia akan mendapat pengakuan.
Bagaimana Peristiwa Madiun bermula?
Saya yang bertindak duluan, pada dinihari 18 September. Tepat pukul dua pagi, kami melucuti pasukan Brimob, polisi militer, dan Siliwangi. Waktu itu jatuh korban tewas lima orang. Tiga orang dari mereka dan dua orang Brigade 29.
Jadi tidak benar bahwa di Madiun ketika itu semua bendera Merah Putih diganti bendera merah palu-arit, dan ada ribuan muslim dimasukkan ke penjara. Setelah pelucutan pasukan, situasi Madiun biasa-biasa saja.
Anda tidak berencana mengganti pemerintahan Sukarno-Hatta?
Saya hanya mau melucuti lawan, supaya mereka tidak bisa menyerang kami lebih dulu. Kami hanya membela diri. Kami juga tidak punya rencana pemberontakan. Buktinya, pada pagi harinya kami kirim telegram ke Yogyakarta, melaporkan situasi di Madiun.
Siapa yang mengirim telegram?
Supardi, Wakil Wali Kota Madiun. Semula saya minta komandan teritorial, Letkol Sumantri, yang melapor. Dia tidak berani. Residen Madiun, Samadikun, tidak ada di tempat. Wali Kota Madiun juga tidak berani. Ya sudah, saya tunjuk Supardi. Saya bilang, kamu sebagai wakil wali kota lapor saja, minta instruksi dari pemerintah Hatta di Yogya, apa yang harus dilakukan.
Di mana Musso saat itu?
Ia sedang melakukan tur ke daerah-daerah. Sebelumnya, dia sempat mampir ke Madiun. Sebelum memutuskan bergerak, saya sudah menemui Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri, di sebuah penginapan. Jadi saya bertindak atas perintah Musso.
Kalau bukan pemberontakan, mengapa ada proklamasi pemerintahan Front Nasional?
Itu bukan proklamasi pemerintahan baru. Kami hanya bersiap-siap, karena ada informasi bahwa kami akan diserang. Saat itu semua wakil partai juga diajak berembuk bersama di Balai Kota Madiun. Namun, setelah Sukarno berpidato di radio menuduh kami berontak, situasinya berubah. Pak Musso marah sekali. Pidato balasannya itu tanpa teks.
(Rosihan Anwar dalam sebuah tulisan pernah menuliskan keadaan ini. “Malam tanggal 19 September 1948 Presiden Sukarno bicara di depan RRI�Yogya dan meminta rakyat memilih antara Muso-PKI dengan�Sukarno-Hatta. Dalam waktu dua jam Muso tampil di depan radio Madiun�dan mengatakan ‘rakyat seharusnya menjawab kembali bahwa Sukarno-Hatta adalah budak-budak Jepang, dan Amerika dan kaum� pengkhianat harus mati’.” Red.)
Apa yang Anda lakukan setelah Peristiwa Madiun?
Saya disalahkan oleh pemimpin PKI yang baru di bawah D.N. Aidit. Saya di-black out oleh partai. Semua peran saya dihapus. Saya diminta tidak disiarkan sebagai orang yang terlibat peristiwa Surabaya 10 November, misalnya. Saya diminta menyingkir karena partai mau membangun kembali basisnya. Saya lalu pergi ke Pematang Siantar, Sumatera Utara, dan menjadi guru di sana. Tapi, begitu pecah peristiwa 1965, saya ditangkap lagi oleh Orde Baru.
0 komentar:
Posting Komentar