Sebuah lem- baga penelitian Belanda KITLV (singkatan dari Koninklijk
Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde - Lembaga Kerajaan untuk
Penelitian Masalah Bahasa, Geografi dan Bangsa-bangsa) yang berkantor
pusat di Leiden, meluncurkan terbitan monumental. Hasil karya se- orang
peneliti senior Dr Harry A Poeze di lembaga tersebut tentang kegiatan
politik tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang berhaluan kiri, Tan
Malaka, antara tahun 1945 sampai dengan awal 1949 itu, terbit dalam tiga
jilid.
Isinya lebih dari 2.000 (dua ribu) halaman. Judulnya saja agak mencerminkan simpati penulis kepada subjeknya: Verguied
en Vergeten- Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesia Revolutie,
1935-1949 (Dihujat dan Dilupakan-Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia, 1945-1949).
Tiga jilid yang baru terbit ini
merupakan Bagian II. Bagian I diterbitkan pada 1976 dan menggambarkan
perjalanan hidup Tan Malaka sejak lahir di Sumatera Barat (1894) dari
tahun 1897 sampai berakhirnya pendudukan militer Jepang di Pulau Jawa
pada 1945.
Bagian I itu yang berjudul Tan Malaka; Pejuang Kemerdekaan Indonesia, Perjalanan Hidupnya 1897-1945
(terjemahan Indonesia), sebenarnya merupakan disertasi Harry Poeze
untuk mencapai gelar doktor dalam ilmu politik di bawah asuhan Prof
Wertheim di Universitas Amsterdam.
Guru besar ini, yang pernah
bertugas sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (RHS) di Jakarta
(Batavia) sebelum 1942, dikenal sebagai pemuja gerakan kiri di
Indonesia. Dr Poeze telah mengumpulkan sejumlah besar bahan dan
mewawancarai tokoh-tokoh yang masih hidup yang mengenal Tan Malaka.
Karena dia juga sibuk sebagai direktur penerbitan lembaga KITLV, ia
memerlukan sekitar 10 tahun untuk menyelesaikan tahap riset dan
penulisan karya besar itu.
Ketika Bagian II dari biografi Tan
Malaka ini diluncurkan di Jakarta pada 30 Juli lalu di Gedung Joang 45,
Jalan Menteng Raya no 31, Jakarta, Dr Harry Poeze tampak hadir.
Pertemuan itu diselenggarakan bersama oleh Pusat Studi, Penerbitan dan
Pustaka Demokrasi (Pusbitdem) dan KITLV. Saya diundang, karena sejak
dulu selama menjadi mahasiswa pada 1950'an di Universitas Indonesia,
memang sudah tertarik pada tulisan dan biografi Tan Malaka yang pada
waktu itu tidak begitu mudah memperolehnya. Dr Roger Toll, Kepala
Perwakilan KITLV di Jakarta bermurah hati mengirim satu set Bagian II
biografi Tan Malaka yang terdiri dari tiga jilid.
Ternyata
bahasa Belanda saya yang dulu harus dipergunakan secara aktif ketika
menjadi pelajar di sebuah SMA berbahasa Belanda di Jakarta belum
berkarat sehingga masih dapat menikmati cerita Dr Poeze tentang kegiatan
politik Tan Malaka (1945-1949) yang ditulis secara menarik. Meskipun
kadang-kadang terlalu dibebani fakta-fakta yang jelimet yang justru
cenderung mengaburkan gambaran Tan Malaka selama tahun-tahun Revolusi
Indonesia itu.
Jelas, penulis kolom ini bukan sejarawan
profesional. Catatan-catatan ini sekadar menarik perhatian Anda agar
mengetahui, ada saja ilmuwan asing yang begitu getol meneliti perjalanan
hidup seorang tokoh politik Indonesia yang hampir terlupakan, sehingga
mampu menerbitkan karya yang berjilid-jilid. Apakah karya yang merupakan
produksi besar itu memang relevan dalam keseluruhan kerangka sejarah
Revolusi Indonesia, masalah itu patut diteliti oleh para sejarawan
Indonesia.
Kebetulan saya berjumpa dengan Dr Taufik Abdullah,
pakar sejarah modern Indonesia yang juga mendapat kiriman satu set
Bagian II biografi politik Tan Malaka. "Tugas Andalah untuk mengupas
karya Dr Poeze ini sebagai sejarawan profesional," ujar saya kepada Bung
Taufik.
Siapa sebenarnya Tan Malaka? Nama lengkapnya adalah
Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka. Tahun kelahirannya, menurut Dr Poeze,
diduga 1894 di Desa Pandan Gadang. Ia menjadi pelajar sekolah pendidikan
guru. Karena cerdas, ia dikirim ke Negeri Belanda dan mengikuti
pendidikan guru lanjutan di Kota Haarlem, 1913-1915.
Karena
Perang Dunia I berkecamuk di Eropa (1914-1918), Tan Malaka terhalang
pulang ke Tanah Air. Ia terpaksa hidup berdikari dan selama tahun-tahun
itu berkenalan dengan ideologi sosialisme dan komunisme. Pada 1920 Tan
Malaka akhirnya pulang ke Tanah Air dan menjadi guru di sekolah yang
didirikan oleh perusahaan perkebunan Eropa di Sumatera Timur.
Gajinya setaraf dengan gaji seorang guru Belanda. Ia tidak tahan melihat
tindasan yang diderita para kuli perkebunan yang didatangkan dari Pulau
Jawa. Pada Februari 1921 Tan Malaka minta berhenti dan pindah ke
Semarang, di mana sebuah partai baru, Partai Komoenis Indonesia (PKI)
belum lama berdiri. Partai baru itu muncul dari ribaan Sarekat Islam
(SI) dan ingin terus berlindung di belakangnya sambil melakukan kegiatan
agitasinya.
Tan Malaka segera aktif menyelenggarakan pendidikan
cuma-cuma kepada anak-anak rakyat jelata, menulis pamflet-pamflet, dan
mendorong berbagai pemogokan. Akhirnya PKI dipisahkan dari SI, dan
peranan Tan Malaka sebagai agitator komunis menjadi mencolok bagi polisi
rahasia Hindia Belanda.
Dengan keputusan gubernur jenderal, ia
dikenakan hukuman pembuangan. Tan Malaka memilih Negeri Belanda sebagai
tempat pengasingannya pada Maret 1922. Dari sana ia ke Moskwa dan
mengikuti program pendidikan partai komunis.
Tan Malaka
menghadiri Kongres International Partai-partai Komunis (Kominform) di
Moskwa pada November 1922. Ia kemudian diangkat sebagai Wakil Kominform
untuk seluruh Asia Tenggara. Maka mulailah pengembaraannya selama 20
tahun, diuber-uber polisi rahasia di Manila, Hong Kong, Bangkok,
Singapura, dan ibu kota lainnya sebelum ia kembali ke Tanah Air pada
1942 setelah militer Jepang menguasai Asia Tenggara.
Yang
penting dicatat selama periode itu adalah brosur yang ditulis dan
diterbitkannya pada 1924 dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke
bahasa Indonesia. Judulnya: "Menuju Republik Indonesia". Meskipun brosur
itu terpaksa harus diselundupkan ke Indonesia dan beredar secara
terbatas, dampaknya di kalangan pergerakan kebangsaan amat besar. Untuk
pertama kalinya konsep "Republik Indonesia" dicanangkan.
Karena berbagai persoalan (terlalu jelimet untuk diterangkan di sini), pada tahun 1927 Tan Malaka putus arang dengan Moskwa.
Pada Juli 1927, Tan Malaka dengan beberapa kawannya mendirikan Partai
Repoeblik Indonesia (PARI) di Bangkok. Diusahakan untuk mendirikan
cabang-cabang di beberapa tempat di Indonesia, tapi dengan mudah
ditumpas oleh polisi rahasia Hindia Belanda.
Demikianlah Tan
Malaka meneruskan pengembaraannya, sampai-sampai ke Tiongkok Selatan dan
berkembang sebagai seorang komunis-nasionalis, seperti juga pemimpin
Vietnam, Ho Chi Minh.
Sekadar beberapa catatan saja tentang
Bagian II biografi Tan Malaka. Pertanyaan besar agaknya: Kenapa dia
tidak berperan pada periode menuju Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pada
awal RI berdiri? Tan Malaka sudah berumur 51 tahun ketika Proklamasi,
lebih tua dari tokoh-tokoh politik lainnya. Ia baru muncul di Jakarta
(dari persembunyian di Banten Selatan) seminggu setelah Proklamasi pada
25 Agustus 1945 di rumah Mr Subardjo di Jalan Cikini, Jakarta.
Beberapa catatan Harry Poeze tentang profil Tan Malaka agaknya membantu,
karena pada saat-saat bersejarah selama tahun-tahun awal RI itu, Tan
Malaka seperti dilewati oleh dinamika politik dan tidak menonjol di
panggung peristiwa. Pada halaman 39 ditulis "betapa selama
bertahun-tahun Tan Malaka hidup sebagai orang perburuan sehingga
sebenarnya dia tidak mampu lagi hidup secara normal..."
Kemudian
dicatatnya di halaman 866 bahwa "kecenderungan merahasiakan segala
sesuatunya dan sikap terlalu hati-hati mendominasi karakter Tan Malaka".
"Ia seorang revolusioner yang kesepian (een eenzame revolutioner), menurut Poeze dalam bab Penutup (halaman 2005).
Ia ditangkap pada Maret 1946 di Madiun oleh pendukung PM Sutan Syahrir,
karena dituduh mengorganisir agitasi terhadap Kabinet Syahrir, yang
menyulitkan diplomasi yang sedang berlangsung dengan pihak Belanda. Tan
Malaka baru dibebaskan pada September 1948 sebagai pengimbang terhadap
gerakan PKI-Muso.
Setelah serangan umum Belanda 19 Desember 1948
ketika Yogya diduduki, maka sebagai keputusan politik, Presiden
Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta dan sejumlah anggota kabinet tidak
meninggalkan ibu kota. Mereka menjadi tahanan militer Belanda.
Tan Malaka yang bergerak di Jawa Timur, di daerah sebelah barat Kota
Kediri, seberang Kali Brantas melakukan agitasi bahwa kepemimpinan
Soekarno-Hatta sudah berakhir. Pada 9 Februari 1949 di Desa Tegoran,
menurut undangan diacarakan rapat koordinasi para komandan yang
bergerilya di daerah itu.
Ternyata, rapat itu menjadi ajang
agitasi politik bagi Tan Malaka (dengan nama samaran Pak Usin) yang
berpidato selama lebih sejam. Pada malam itulah tanpa dinyatakan secara
formal dibentuk Gabungan Pembela Proklamasi. Ia juga rajin mengedarkan
pamflet-pamflet politik yang ditulisnya sendiri dengan alamat "Markas
Murba Terpendam". Salah satu pamflet itu mencerca para perwira TNI,
antara lain nama Kol Sungkono disebut, komandan Jawa Timur, "yang lari
terbirit-birit ke Gunung Wilis diuber pasukan Belanda".
Di
periode perang gerilya menghadapi Belanda pada belahan pertama tahun
1949 di mana hukum militer berlaku, sikap komandan setempat menghadapi
agitasi yang diorganisir oleh Tan Malaka, termasuk menyusun kekuatan
bersenjata, dan tidak mengakui lagi kepemimpinan Soekarno-Hatta ataupun
PRRI di Sumatera, sudah dapat diramalkan. Letkol Surachmad, komandan
"Wehrkreisse" di daerah tersebut mengeluarkan surat perintah rahasia
yang mencap gerakan Tan Malaka sebagai mengancam eksistensi RI. Ia lapor
kepada Kol Sungkono bahwa tindakan keras akan dilakukan terhadap Tan
Malaka dan pengikutnya.
Pada malam 21 Februari 1949, Letnan Dua
Sukotjo dan anak buahnya menangkap Tan Malaka di Desa Selongpanggung,
dekat Tonggoel. Tan Malaka dieksekusi oleh anak buahnya bernama Suradi
Tekebek. Poeze berhasil menggali fakta-fakta itu setelah bertahun-tahun
melakukan penelitian dan mengunjungi lokasinya.
Ia ungkapkan
emosinya sedikit dan tinggalkan objektivitasnya sebagai ilmuwan sejarah
ketika di catatan kaki halaman 1466 ia memakai istilah "pembunuh Tan
Malaka" (moordenaar) dan kata "schuld" (rasa bersalah). Padahal di bagian lainnya, penulis akui bahwa hukum militer berlaku dalam situasi perang melawan Belanda.
Sayang Dr Harry Poeze tidak mengutip kenangan Abu Bakar Lubis pada Tan Malaka dalam bukunya Kilas Balik Revolusi
(Jakarta, 1992). Sebagai pemuda pejuang, ia mengenal Tan Malaka dan
membaca karya politiknya. Lubis menulis: "Tan Malaka hidup lebih dari
dua puluh tahun dalam pengasingan, penjara, atau persembunyian. Tidaklah
heran kita, bahwa seorang yang hidup begitu lama dalam kesepian
mempunyai dunia sendiri yang tidak sepi dengan cita-cita, impian dan
khayalan, mengejar suatu utopia. Karena itu mungkin sekali ia tidak
selalu bergerak dan mengambil si- kap yang berpijak pada kenyataan...."
http://reretaipan88.blogspot.com/2018/07/asiataipan-taipanqq-taipanbiru-bikin.html
BalasHapusTaipanbiru
TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsasusun
• Domino99
• Poker
• BandarPoker
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : E314EED5
Daftar taipanqq
Taipanqq
taipanqq.com
Agen BandarQ
Kartu Online
Taipan1945
Judi Online
AgenSakong